Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Titik Balik Hujan

Titik Balik Hujan

coretanmun – Awalnya saya sangat takut pada hujan. Ketika hujan sudah melanda, jadi enggan berbuat apa saja di luar rumah. Maunya rebahan, atau setidaknya diam di dalam rumah. Tapi semua itu berubah setelah bertemu dengan seorang yang mengajarkan untuk ‘berani’ menembus hujan. Tidak dengan kata, tapi tindakan.



Ketika masih kanak-kanak, hujan berarti keseruan. Kecek di pelataran dan jalanan. Kecuali hujan petir, pasti sembunyi di ketiak emak. Saat kecil itu pula, ketika hujan sudah enggan sekolah, enggan ke musala berangkat mengaji. Jangankan hujan, gerimis saja tak mau berangkat.

Sepertinya itu hasil didikan Bapak kepada saya gagal. Dalam hal hujan ini. Ketika masih kecil, juga saat masih mengaji, sering bapak bercerita kepada saya. Tentang Pak De Mualim, kakak laki-laki bapak.

Saat hendak berangkat mengaji dan hujan turun, bapak selalu menceritakan Pak De yang harus berangkat mengaji di Loji-Kaliwining. Jaraknya kurang lebih 3 kilometer dari rumah. Pak De berangkat mengaji dengan jalan kaki. Baju, songkok, dan sarungnya dilipat kecil, digulung, dibungkus dengan daun pisang. Pak De hanya memakai celana pendek. Untuk menghalau hujan, Pak De memakai payung, daun pisang.

Bapak bercerita lengkap dengan pesan moralnya: dulu Pak De mengaji ke Loji yang jaraknya jauh begitu tetap berangkat, meskipun hujan. Aku yang mengajinya dekat, sepelemparan batu, masak tidak mau berangkat dengan alasan hujan. Sudah ada payung pula. Buka daun pisang.

Memang, kisah perjuangan menembus hujan ini sedikit memberikan semangat untuk berangkat mengaji. Karena memang jaraknya dekat. Tapi kalau sekolah, yang jaraknya cukup jauh. Pas musim hujan baik berangkat maupun pulang, enggan sekali.

Titik balik tentang hujan ini terjadi saat SMA. Sebelumnya, saat kelas 1, ketika hujan sudah enggan berangkat sekolah. Padahal ada jas hujan. Padahal ada tas kresek yang bisa digunakan untuk membungkus sepatu. Tapi tetap enggan, karena teman-teman yang lain kalau hujan bisa diantarkan orang tuanya pakai mobil. Atau setidaknya punya sepatu cadangan yang bisa dipakai, bukan sepatu satu-satunya seperti saya.

Pandangan dan sikap saya pada hujan sudah sudah berubah, sejak kelas 2 SMA. Ketika sudah mengenal organisasi pelajar IPNU. Setelah menjadi anggota IPNU di kampung saya, saya mengikuti salah satu program Les di organisasi tersebut. Bertempat di kediaman pembina IPNU waktu itu. Mentornya tidak tanggung-tanggung, didatangkan dari Jember. Mahasiswa S2 Manajemen Unej. Mantan juara olimpiade Matematika di sekabupaten Kediri.

Dia adalah alumni Pondok Pesantren Langitan, yang kemudian menjadi pengurus organisasi Hidayatullah, organisasi yang cukup berseberangan dengan NU secara ideologi. Tapi sebagai alumni Pondok Pesantren, hati NU-nya tetap ada. Saya memanggilnya Mas Iskandar.

Pernah suat ketika saat jam les, hujan turun dengan lebat. Saya tetap berangkat, dari rumah ke tempat les. Jaraknya dekat, sepelemparan batu saja. Ketika sampai di situ, saya pikir Mas Iskandar tidak akan datang. Karena peserta lesnya hanya sedikit, bisa dihitung dengan jari satu tangan kiri saja. Apalagi, Mas Iskandar mengajari kami tanpa dibayar. Jauh-jauh dari Jember Kota, ke kampung saya yang ada di pelosok. Dari jalan raya saja jaraknya 4 km. Jalannya waktu masih rusak parah.

Masih hujan lebat yang panjang, ternyata Mas Iskandar datang, dengan memakai jas hujan yang sudah mulai koyak di beberapa bagiannya. Ketika ditanya, padahal hujan kok masih berangkat. Jawaban Mas Iskandar  santai, “lha wong cuma hujan. Pakai mantel sudah ndak kehujanan.”

Kejadian tahun 2008, yang masih saya ingat hingga sekarang, setelah 13 tahun berlalu. Mungkin akan terus saya ingat, yang akan tetap saya ceritakan kepada anak-anak saya nanti. Tidak tentang materi les yang matematika itu. Yang saya lupa isinya. Tapi saya ingat perjuangan Mas Iskandar berbagi ilmu dengan kami. Itu yang akan saya ceritakan. Meskipun sekarang telah putus kontak, sejak Mas Iskandar tidak lagi bertugas di Hidayatullah Jember, kabar terakhir, beliau kembali ke kampung halamannya.

Sejak saat itu saya tidak lagi takut pada hujan. Ketika berangkat sekolah, kok hujan. Hati tetap riang, bungkus sepatu dengan kresek, pakai jas hujan. Berangkat. Pulang sekolah pun begitu. Kalau saja ‘teknologi’ bagasi motor sudah ada sejak itu, mungkin akan lebih mudah membawa sepatu tanpa kresek.

Sekarang lebih mudah lagi, kalau sudah hujan tinggal masukkan sepatu atau barang berharga lain ke dalam jok motor. Muat banyak. Tembus saja hujannya. 

Sampai kuliah pun begitu, saat yang lain jaim menenteng sepatu di kampus. Saya sudah terbiasa. Sudah teruji mentalnya. Sudah tidak lagi takut pada hujan. Kalau hanya hujan lebat, tidak mungkin bisa menghalangi jalan. Kecuali kalau sampai banjir. 

Lain lagi kalau banjir, bukan masalah takut hujan. Tapi takut terjebak banjir. Bukannya justur urusan selesai, justru menambah urusan dan permasalahan. 

Bapak punya kisah tentang Pak De yang berangkat mengaji ke Loji dengan berpayung daun pisang, setidaknya saya punya kisah Mas Iskandar, yang rela berhujan-hujan menempuh jarak belasan kilometer, mengajari kami tanpa dibayar.

Masih takut hujan?

Posting Komentar untuk "Titik Balik Hujan"