Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Siapkah Desa Kita Menghadapi Dampak Wabah Covid19?

Tulisan ini tentu tak sebanding dengan ulasan Yuval Noah Harari tentang masa depan dunia dan relasi negara dengan warganya. Juga tidak dapat setajam Catatan Pandemic Covid19 yang ditulis oleh Ahmad M Firdaus.

Tulisan Yuval Noah Harari tentang masa depan dunia setelah wabah bisa dibaca DI SINI.
Tulisan Ahmad M Firdaus tentang Catatan Pandemic Covid19 bisa dibaca DI SINI

Tapi tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk turut sertanya dipikirkan warga desa terkait dampak Covid19 yang persebarannya merata di seluruh Indonesia.

Apakah Covid19 Bisa Sampai ke Desa Kita

Memang ini pertanyaan yang sederhana. Mungkin juga ditanyakan oleh banyak orang. Virus corona memang tidak bisa berjalan sendiri. Dia butuh tubuh manusia untuk tetap hidup. Nah, jika ada orang yang terjangkit ini berjalan makan memungkinkan menulari setiap orang yang berpapasan dengannya. Karena memang sangat mudah menular.

Tentu saya tidak hendak membahas tentang cara penularan covid19. Saya bukan tenaga medis, juga bukan tenaga kesehatan, juga sama sekali tidak punya latar belakang pengetahuan tentang kesehatan.

Jika ingin mengetahui cara penularannya bisa melalui kanal terpercaya macam https://www.kemkes.go.id/folder/view/full-content/structure-faq.html. Ini tanya jawab yang penting. Silakan dibaca.

Tapi, melihat hal itu bisa jadi covid19 sampai ke kampung kita, ke desa kita, ke lingkungan kita. Meskipun berada jauh dari Jakarta atau Surabaya sebagai pusat penyebaran covid19 ini. Buktinya virus yang awalnya ditemukan di sebuah pasar ikan di Wuhan, China, bisa sampai ke Jakarta. Sampai ke Surabaya. Padahal jauh sekali.

Pertanyaan apakah covid bisa sampai ke desa kita, jelas jawabannya bisa. Melalui penularan dari orang ke orang yang kelihatannya sehat. Yang mobilitas tinggi. Virus ini tidak hanya bisa dibawa oleh orang yang bepergian dari Jakarta atau Surabaya saja. Orang yang perginya hanya ke terminal, bisa saja tepapar di terminal, terinfeksi corona ketika berpapasan dengan orang yang tertular. Dibawa pulang. kondisinya tetap sehat, bawa virus.

Begitu seterusnya, sambung menyambung.

Jadi, senyampang masih ada interaksi sosial penyebaran covid19 bisa sampai ke tempat itu. Entah cepat atau lambat. Entah segera atau selang beberapa hari atau beberapa minggu.

Kampung Saya, Masjid, dan Sekolah-Sekolah Sudah Disemprot Disinfektan: Itu Tidak Memutus Rantai Sebaran Virus Corona

Iya, sudah banyak gerakan penyemprotan disinfektan. Baik oleh pemerintahan di segala jajarannya, mulai dari kementerian, provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga tingkat desa. Penyemprotan di tempat umum semisal masjid, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Tapi itu tidak membunuh virus yang ada dalam tubuh manusia.

Padahal yang banyak adalah penularan dari manusia ke manusia. Bukan dari benda ke manusia. Misalnya sekolahnya tidak ada virusnya, karena disemprot disinfektan. Tapi bisa jadi penularan dari orang ke orang yang berpapasan di sekolah. Makanya sekolah diliburkan. Acara kumpul-kumpul (apapun itu wujudnya baik konser musik maupun selawatan) sementara juga dilarang.

Bahkan sekarang sudah ada anjuran untuk selalu memakai masker ketika keluar rumah. Masker kain saja. Asalkan dibuat dari kain katun yang rapat, bisa mengurangi risiko penularan. Jangan masker medis, karena masker medis hanya untuk tenaga kesehatan.

Anjuran dan Realitas Sosial

Pemerintah, dan beberapa pihak menyarankan untuk jaga jarak satu sama lain, hindari kumpul-kumpul, dan terakhir selalu pakai masker seperi yang telah ditulis di atas. Itu anjuran. Apakah berhasil? Apakah diikuti. Memang orang-orang di desa lebih banyak tinggal di rumah. Tidak bepergian. Yang biasanya main-main kumpul-kumpul di alun-alun kecamatan atau bahkan alun-alun kabupaten, tidak kumpul-kumpul. Yang biasanya jamiyah, jadi tidak jamiyah.

Apakah itu sudah cukup, memang sudah lebih baik. Dari pada tidak sama sekali. Tapi sebenarnya itu juga kurang. Pada dasarnya orang desa tetap berkumpul, tetap saling kunjung dengan tetangga. Tetap jagongan dengan tetangga kanan kiri rumah. Apalagi libur, tidak ke mana-mana. Senyampang tidak ada aktifitas di sawah, maka ya kumpul-kumpul.

Sulitnya di desa, kalau sama sekali tidak mau srawung maka dianggap ansos. Bisa jadi benar-benar dimusuhi oleh tetangga. Memang, kumpul-kumpul kalau sesama saudara dan tetangga kanan-kiri rumah yang kelihatan sehat dan tidak dari zona merah, ya tidak apa-apa. Meskipun sebenarnya tidak ada yang menjamin bahwa, ketika ke pasar, atau ketika bekerja, tidak bertemu dengan orang yang membawa virus corona.

Seberapa yakin di kampung kita tidak ada corona? Yang terbawa tidak sengaja oleh orang-orang yang baru mudik, atau orang yang berpapasan dengan carier (pembawa virus) yang juga tidak sengaja.

Tentu ini sulit, karna interaksi sosial orang-orang desa memang secara langsung. Meskipun ada teknologi untuk saling berinteraksi jarak jauh, tapi terbatas hanya dimiliki oleh sebagian kecil warga. Belum lagi piranti pendukungnya. Pulsa paket data adalah barang mahal bagi warga desa.

Pengorbanan warga desa untuk meliburkan jamiyah keagamaan adalah suatu pengorbanan yang besar. Lebih-lebih menjelang ramadan begini. Yang biasnya dipol-polne malah disuruh mengurangi.

Jangan Terlalu Paranoid Jangan Meremehkan Tetap Waspada

Sebenarnya, anjuran jangan paranoid, jangan panik, adalah anjuran yang sepertinya tidak berguna. Warga desa kebanyakan sama sekali tidak paranoid, sama sekali tidak panik. Karena biasa hidup keras dan pasrah ke alam, menjadi laku warga desa untuk patuh sepenuhnya kepada alam.

Sudah terbiasa 'menunggu alam bersahabat' untuk dapat menanam padi. Juga bisanya berdoa, agar terik saat ngarit pari --panen-- hingga gabah dibawa pulang. Sebatas doa dan harapan, perkara Tuhan memberikan hujan. Petani hanya pasrah. Itu laku hidupnya.

Apalagi menghadapi wabah corona, warga sudah terbiasa pasrah. Perkara usaha, tentu sudah. Harus lebih berusaha keras. Membiasakan masyarakat pakai masker seperti halnya anjuran pemerintah terbaru, bukan perkara mudah. Lha wong tidak ke mana-mana kok disuruh pakai masker. Padahal sampai detik ini, tidak pernah tahu. Kita ini positif atau negatif corona.

Apakah Desa Kita siap menghadapi Corona?

Jawabannya harus siap. Mau tidak mau, sebaran corona sudah merata di seluruh Indonesia, juga seluruh dunia. Kita bisa menghadapi ini.

Warga Desa dalam menyikapi Corona harus Bagaimana? Harus tetap bekerja. Harus tetap menanam padi. Harus tetap memproduksi tempe dan tahu, harus tetap bekerja. Khususnya yang memproduksi bahan makanan.

Mereka yang sedang dibatasi, di kota-kota. Baik kota-kota besarmaupun kota-kota kabupaten, membutuhkan pasokan makanan yang diproduksi di desa-desa. Warga negara dan masyarakat memang sedang bekerja dari rumah. Banyak acara yang dibatasi, tapi mereka semua tetap butuh makan.

Maka, bersiaplah menghadapi Corona. Jangan lupa, sambil terus dibaca doa dan hizibnya. Pemberian kiai dan para guru ngaji. Sembari berdoa, semoga wabah ini segera berlalu....


Posting Komentar untuk "Siapkah Desa Kita Menghadapi Dampak Wabah Covid19?"