Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengubur Ari-ari dalam Pandangan Agama, Medis, Budaya, dan Pengalaman Pribadi

Cerita yang saya tulis memang tidak sistematis. Toh ini bukan karya ilmiah. Juga tidak disusun secara kronologis, toh ini bukan kliping koran atau naskah sejarah. Ini sekadar mozaik-mozaik kisah sekitar kelahiran anak pertama dalam tag Tentang LMA

Kali ini cerita tentang ari-ari. Dalam istilah medis, disebut Plasenta. Dalam khazanah kebudayaan Jawa, juga disebut dulur atau batur.

Ari-ari atau Plasenta adalah bagin dari proses kehamilan. Saya memahaminya begitu. Karena terbentuknya ari-ari atau plasenta beriringan dengan pembentukan janin dalam rahim. Plasenta berbentuk cakram (setelah besar) menyuplai nutrisi, oksigen, dan segala zat yang dibutuhkan (ataupaun yang tidak dibutuhkan) oleh bayi melalui tali pusar.

Saya tidak punya kapasitas dan kapabilitas sama sekali untuk menjelaskan lebih jauh. Setidaknya yang saya baca di alodokter.com dan hellosehat.com, sama dengan pengalaman saya saat mencuci ari-ari anak pertama saya. Berbentuk cakram, berwarna merah tua berupa daging segar. Di bagian tengahnya ada semacam tali pusar penghubung. Saya kira ini yang menghubungkan ari-ari dengan pusar Lutfiana MA. Warnananya putih.

Pada 28 Mei 2019, saya mendapat ari-ari dari bidan, sesaat setelah istri selesai menjalani operasi caesar. Setelah azan dan ikamah di kedua telingan bayi saya, yang ketika itu masih belum punya nama. Segera saya pamit kepada mertua, untuk pulang. Merawat dan mengubur ari-ari.

Sepanjang perjalanan pulang dengan niatan hendak segera menguburkan ari-ari. Sepengetahuan saya berdasar budaya dan kebiasaan masyarakat, ari-ari memang harus dikubur. Dengan segala ubo rampenya.

Kegiatan mengubur ari-ari adalah bagian dari ajaran agama juga. Lebih lengkapnya bisa dibaca di bincangsyariah.com tentang cara mengubur ari-ari menurut pendapat ulama.

Tak heran, jauh hari sebelum punya anak, bahkan sebelum istri saya hamil, saya terlibat obrolan tentang cara mengubur ari-ari. Ketika di pesantren. Mengubur ari-ari harus begini harus begitu. Harus melotot, katanya. Agar anak segan pada sang bapak. Harus bapak yang mengubur, katanya agar bisa manut pada bapaknya.

Penjelasan lebih detail tentang prosesi penguburan ari-ari saya dapat secara langsung dari Gus Afton, KH. Afton Ilman Huda - Talangsari, Jember. Saat sowan kepada beliau dengan dua teman (Daniel dan Mirza) Daniel nyeletuk, bahwa sebentar lagi saya akan punya anak.

Kepalang basah, sekalian saya minta doa kepada beliau agar selamat sentosa ibu dan jabang bayinya. Tidak hanya diberi bacaan dan wirid, tapi juga diberi penjelasan tentang cara mengubur ari-ari. Beliau bercerita bahwa semua anaknya beliau sendiri yang mencuci ari-arinya. Saat mencuci, memakai pakaian terbaik. "Nek aku nganggo sorban, jubah putih, nganggo lengo wangi." Katanya.

Karena saya tidak terbiasa memakai sorban dan/atau jubah, maka saya disarankan memakai baju terbaik kalau bisa berwana putih. Memakai songkok. Selain haru memakai baju terbaik, selama proses pembersihan ari-ari, disarankan tidak merem  sambil membaca zikir atau selawat.

Tujuannya, masih menurut Gus Afton, anak akan segan pada bapaknya. Jika salah bisa diingatkan dan diberi tahu dengan mudah.

Selama proses perjalanan pulang itulah, saya mengingat-ingat pesan Gus Afton di atas. Hendak saya lakukan. Saya cuci sendiri, saya kubur sendiri. Dengan pakaian terbaik.

Tapi begitu sampai di rumah, target itu gagal. Di rumah kebetulan ada Wak Kaji Saropah, yang ketika saya kecil biasa saya panggil Mbok Kampung. Beliau memaksa untuk membersihkan ari-ari anak saya. Ketika saya cegah, dia tetap meksa dengan mengatakan,

"Aku rena gak ngerti nek anakmu lahir, iki takdire Allah aku ngerti. Dadi aku sing ngumbah. Menengo, tak niati ben anakku ndang nduwe anak. Putuku ben ndang nduwe anak pisan." Wak Saropah memberi penjelasan, sambil berjalan ke belakang. Menenteng tas plastik berisi ari-ari anak saya.

Saya sadar betul, betapa sedih perasaan orang yang tak kunjung memiliki anak. Seperti yang telah saya tulis dalam postingan sebelumnya,  Perjuangan Program Hamil.

Memang saya tidak membersihkan sendiri ari-ari anak saya. Wak Saropah yang membersihkannya. Tapi saya punya syarat, sebelum Wak Saropah membersihkannya, saya tahan dulu. Supaya beliau sudi menunggu, saya ganti baju. Pakai baju putih, ganti memakai sarung terbaik, memakai songkok terbaik. Bersuci. Saya pandangi ari-ari anak saya yang dicuci oleh Wak Saropah. Saya pandangi sambil membaca selawat, seingatnya.

Setelah ari-ari bersih. Proses penguburan saya lakukan sendiri. Ari-ari saya bungkus kain putih. Oleh ibu, nenek anak saya, sudah disiapkan berbagai macam rempah-rempah, untuk menemani ari-ari di dalam toples. Setahu saya, hanya bawang merah yang tidak dimasukkan, takut cucunya nanti jadi bau. Setahu saya, salah satu yang dimasukkan adalah gula. Biar manis, karena cewek. Katanya.

Lokasi penguburan ari-ari juga ditentukan oleh ibu. Karena perempuan, harus dikubur di belakang rumah. Kebetulan sekali, lokasi yang paling memungkinkan adalah di belakang rumah. Tepatnya di belakang dapur. Karena masih berupa tanah. Bagian yang lain sudah disemen. Tentu sulit untuk menggalinya. Selain itu, lokasinya juga dekat dangan bak penampung air. Mudah kalau menyiram. Dekat juga dengan terminal listrik, alias colokan. Mudah saat memberi lampu.

Sambil kesulitan menggali, karena banyak batu dan bata sisa pembuatan dapur, menggali dengan tetap mekai sarung, baju koko, dan songkok cukup menyulitkan juga. Sabil terus membaca selawat sebisanya, saya terus gali. Sampai toples yang sekira 30 cm tertanam habis.

Setelah ari-ari terkubur, saya disuruh membuat jari-jari dari bambu. Sebagai pembatas. Saya ingat betul pesan ibu, "nek nggawe rujine ojo gedi-gedi. Ben untune apik. Nek noto sing roto arang kerepe, duwure pisan. Ben untune roto." Lagi-lagi ada simbol di situ.

Saya lakukan saja, dengan sisa tenaga yang masih tersisa, cari bambu. Ukur, gergaji, belah bambu jadi bilah-bilah kecil. Awalnya saya raut, tapi dilihat oleh ibu kemudian dilarang. Tak perlu diraut katanya. Manut saja. Itung-itung doa.  Setelah saya rasa cukup,  bilah bambu ditanam melingkar, memagari ari-ari. Ditata serapi mungkin.

Tinggal memasangi lampu, entah ini biar apa. Saya manut saja. Kuburan ari-ari harus diberi penerangan. Kebetulan di depan ada kabel steker. Juga punya tempat lampu yang bisa dipasang langsung ke steker, sudah beli beberapa hari sebelumnya. Kebetulan juga, ibu jual lampu bohlam, di tokonya. Tak sampai lima menit, penerangan untuk tempat mengubur ari-ari saya sudah ada lampunya.

Simbol-simbol dalam proses penguburan ari-ari saya anggap merupakan bagian doa. Saya lakukan. Tapi saya juga percaya bahwa, karakter anak ditentukan oleh didikan orang tuanya. Tentu saya harus belajar lagi, kalau dulu belajar untuk diri sendiri, kini belajar untuk menjadi contoh yang baik bagi anak.

Ketika menulis kisah ini, juga teringat kisah dari Mbah Hasbi, kakek dari jalur bapak saya. Beliau lebih memilih gabah hasil 'ngasak'  (memungut sisa bulir padi yang terbuang dan tidak terpanen) sebagai benih untuk sawahnya dari pada hasil bawon. Karena gabah bawon ada kemungkinan kecurangan dan ketidak-ikhlasan pemilik sawah. Takut panennya yang dimakan oleh anak-anaknya tidak barokah. Semoga bisa.

Posting Komentar untuk "Mengubur Ari-ari dalam Pandangan Agama, Medis, Budaya, dan Pengalaman Pribadi"