Ayah Paling Bahagia yang Saya Temui Tempo Hari
Catatan Pribadi | pantunmun.blogspot.com - Beberapa hari yang lalu saya menjadi petugas ibu - bukan petugas partai. Ditugas oleh ibu saya untuk 'kulakan' rokok di sebuah toko yang masih dalam satu desa tapi lain dusun. Tidak ada yang tidak biasa. Semua berjalan biasa. Datang, mengantri sebentar. Pesan seslop. Bayar pulang.
Nah, waktu pulang itulah saya menemukan seraut wajah penuh kebahagiaan. Dari seorang bapak-bapak dengan pakaian kerjanya yang penuh lumpur atau adonan semen. Mungkin pekerja bangunan. Atau pekerjaan lain.
Memang, daerah saya sedang sibuk-sibuknya melakukan pembangunan. Di pusat kota ada bangunan besar-besar. Di pinggiran kota, banyak pula bangunan dalam skala yang lebih kecil, tapi masif. Tapi juga tidak sepenuhnya menggusur pertanian. Bisa jadi bapak ini adalah buruh tani, bisa juga kuli bangunan.
Apa pun pekerjaannya menjadi tidak penting. Yang terpenting adalah senyumnya itu tadi. Senyum penuh kebahagiaan. Di malam hari. Setelah Magrib menjelang Isya. Bisa membelikan oleh-oleh. Eskrim. Mungkin untuk anaknya.
Saya lirik eskrimnya, eskrim kemasan paling kecil. Yang paling murah. Berbentuk stik. Entah apa jenamanya (merknya). Setahu saya, di dalam ada dua lemari pendingin dari dua jenama perusahaan terkenal. Yang menjual eskrim dengan harga yang paling murah, ada yang duaribuan.
Masih mengandalkan hasil lirikan mata saya yang terbatas. Di malam hari, eskrim itu dibungkus dalam kantong plastik warna hijau, agak transparan. Diikat dengan cekatan, ke stang setir motor sebelah kiri. Sambil wajahnya si bapak yang berseri-seri. Saya amati lagi, apa saja yang dibeli oleh bapak ini. Saya baru yakin, memang hanya itu yang dibeli di toko sebesar ini.
Saya ikut menyalakan motor, mengikuti laju motor si bapak yang bahagia ini. Kebetulan searah. Si bapak agak tergesa-gesa sepertinya ingin cepat sampai di rumah. Mungkin berpikir eskrimnya harus sampai pada anaknya. Biar tidak meleleh. Biar senyum anaknya merekah. Mungkin juga karena rindu yang menggebu, dari bapak. Karena ditinggal seharian. Bekerja keras, menjadi buruh.
Saya semakin yakin bahwa bapak ini adalah buruh bangunan atau buruh pertanian. Dari tampilan dan 'seragam' kerjanya. Celana panjang, kaos lengan panjang, lusuh. Banyak noda. Entah lumpur entah adonan semen. Tidak begitu jelas. Malam hari. Alas kaki berupa sepatu murah, plastik. Warna putih. Dengan spul bagian bawah mirip sepatu pemain sepak bola. Juga sebuah topi, yang menutupi sebagian rambutnya. Juga tas ransel. Yang sudah koyak di beberapa bagiannya, sepertinya bekas tas sekolah anaknya. Bentuk dan ukurannya lebih ideal untuk anak-anak usia SD dan SMP.
Si bapak terus melaju, meliuk. Mendahului beberapa kendaraan. Cepat, tapi tetap sopan di jalan. Mana mungkin juga motor setua itu dipacu 100 km per jam. Tidak mungkin. Motor yang dipasarkan sejak tahun 80. Yang sebagian besar rangka dan bodi motornya besi. Warna hitam. Suaranya cempreng, tapi khas. Juga tidak membahayakan kendaraan lain. Lampu belakang dan lampu depannya menyala. Mungkin hanya lampu seinnya yang mati. Tak apa bisa diganti dengan 'tanda tangan' kalau ingin belok kanan atau belok kiri. Sebagai tanda.
Karena pesaran maka saya ingin tahu. Rumah bapak yang paling bahagia yang saya temui ini. Minimal sekitar rumahnya, dusunnya atau desanya. Akhirnya saya ikuti. Meski harus sedikit memutar untuk pulang. Ternyata bapak ini memasang 'tanda tangan' ke arah kanan. Di utara Masjid Baitul Ijabah. Di perkampungan di utaranya rumah pribadi anggota DPRD Jawa Timur yang meningal sekian hari sebelumnya, yang juga ketua DPC PKB Jember.
Karena tidak mungkin lagi saya ikuti, saya belok kiri. Dengan memasang lampu sein. Tanpa tanda tangan. Sambil mengangan-angan. Betapa bahagianya si anak. Bapaknya datang. Bawa oleh-oleh pula. Beberapa potong eskrim. Yang dibeli agak jauh di selatan. Padahal di dekat rumahnya, ada dua minimarket. Yang satu identik dengan warna merah, satunya identik dengan warna hijau dan pesantren.
Sepanjang perjalan pulang, saya jadi membayangkan kebahagiaan bapak dan anaknya. Dan keluarganya. Jadi membayangkan, kelak saya juga begitu. Ketika sudah menjadi bapak. Juga sedikit banyak juga harus berperan sebagai bapak, untuk keempat keponakan. Yang ditinggal mati bapaknya - kakak pertama saya.
Sebelum sampai rumah, dalam perjalanan, saya mencoba melobi Tuhan. Memohon semoga anak-anak itu, anak bapak tadi, anak-anak kakak saya, dan anak saya kelak. Menjadi anak yang baik. (mun)
Nah, waktu pulang itulah saya menemukan seraut wajah penuh kebahagiaan. Dari seorang bapak-bapak dengan pakaian kerjanya yang penuh lumpur atau adonan semen. Mungkin pekerja bangunan. Atau pekerjaan lain.
Memang, daerah saya sedang sibuk-sibuknya melakukan pembangunan. Di pusat kota ada bangunan besar-besar. Di pinggiran kota, banyak pula bangunan dalam skala yang lebih kecil, tapi masif. Tapi juga tidak sepenuhnya menggusur pertanian. Bisa jadi bapak ini adalah buruh tani, bisa juga kuli bangunan.
Apa pun pekerjaannya menjadi tidak penting. Yang terpenting adalah senyumnya itu tadi. Senyum penuh kebahagiaan. Di malam hari. Setelah Magrib menjelang Isya. Bisa membelikan oleh-oleh. Eskrim. Mungkin untuk anaknya.
Saya lirik eskrimnya, eskrim kemasan paling kecil. Yang paling murah. Berbentuk stik. Entah apa jenamanya (merknya). Setahu saya, di dalam ada dua lemari pendingin dari dua jenama perusahaan terkenal. Yang menjual eskrim dengan harga yang paling murah, ada yang duaribuan.
Masih mengandalkan hasil lirikan mata saya yang terbatas. Di malam hari, eskrim itu dibungkus dalam kantong plastik warna hijau, agak transparan. Diikat dengan cekatan, ke stang setir motor sebelah kiri. Sambil wajahnya si bapak yang berseri-seri. Saya amati lagi, apa saja yang dibeli oleh bapak ini. Saya baru yakin, memang hanya itu yang dibeli di toko sebesar ini.
Saya ikut menyalakan motor, mengikuti laju motor si bapak yang bahagia ini. Kebetulan searah. Si bapak agak tergesa-gesa sepertinya ingin cepat sampai di rumah. Mungkin berpikir eskrimnya harus sampai pada anaknya. Biar tidak meleleh. Biar senyum anaknya merekah. Mungkin juga karena rindu yang menggebu, dari bapak. Karena ditinggal seharian. Bekerja keras, menjadi buruh.
Saya semakin yakin bahwa bapak ini adalah buruh bangunan atau buruh pertanian. Dari tampilan dan 'seragam' kerjanya. Celana panjang, kaos lengan panjang, lusuh. Banyak noda. Entah lumpur entah adonan semen. Tidak begitu jelas. Malam hari. Alas kaki berupa sepatu murah, plastik. Warna putih. Dengan spul bagian bawah mirip sepatu pemain sepak bola. Juga sebuah topi, yang menutupi sebagian rambutnya. Juga tas ransel. Yang sudah koyak di beberapa bagiannya, sepertinya bekas tas sekolah anaknya. Bentuk dan ukurannya lebih ideal untuk anak-anak usia SD dan SMP.
Si bapak terus melaju, meliuk. Mendahului beberapa kendaraan. Cepat, tapi tetap sopan di jalan. Mana mungkin juga motor setua itu dipacu 100 km per jam. Tidak mungkin. Motor yang dipasarkan sejak tahun 80. Yang sebagian besar rangka dan bodi motornya besi. Warna hitam. Suaranya cempreng, tapi khas. Juga tidak membahayakan kendaraan lain. Lampu belakang dan lampu depannya menyala. Mungkin hanya lampu seinnya yang mati. Tak apa bisa diganti dengan 'tanda tangan' kalau ingin belok kanan atau belok kiri. Sebagai tanda.
Karena pesaran maka saya ingin tahu. Rumah bapak yang paling bahagia yang saya temui ini. Minimal sekitar rumahnya, dusunnya atau desanya. Akhirnya saya ikuti. Meski harus sedikit memutar untuk pulang. Ternyata bapak ini memasang 'tanda tangan' ke arah kanan. Di utara Masjid Baitul Ijabah. Di perkampungan di utaranya rumah pribadi anggota DPRD Jawa Timur yang meningal sekian hari sebelumnya, yang juga ketua DPC PKB Jember.
Karena tidak mungkin lagi saya ikuti, saya belok kiri. Dengan memasang lampu sein. Tanpa tanda tangan. Sambil mengangan-angan. Betapa bahagianya si anak. Bapaknya datang. Bawa oleh-oleh pula. Beberapa potong eskrim. Yang dibeli agak jauh di selatan. Padahal di dekat rumahnya, ada dua minimarket. Yang satu identik dengan warna merah, satunya identik dengan warna hijau dan pesantren.
Sepanjang perjalan pulang, saya jadi membayangkan kebahagiaan bapak dan anaknya. Dan keluarganya. Jadi membayangkan, kelak saya juga begitu. Ketika sudah menjadi bapak. Juga sedikit banyak juga harus berperan sebagai bapak, untuk keempat keponakan. Yang ditinggal mati bapaknya - kakak pertama saya.
Sebelum sampai rumah, dalam perjalanan, saya mencoba melobi Tuhan. Memohon semoga anak-anak itu, anak bapak tadi, anak-anak kakak saya, dan anak saya kelak. Menjadi anak yang baik. (mun)
Posting Komentar untuk "Ayah Paling Bahagia yang Saya Temui Tempo Hari"