Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sedikit Cerita tentang Kelas E SMP Negeri 1 Jenggawah

Ini adalah coretan sederhana lagi. Tentang kisah pribadi. Saat SMP dulu. Ingatan kembali ke masa SMP karena tiba-tiba ada teman yang membuat grup WA. Setelah ditelisik, ternyata Eka. Orang ini harus bertanggung jawab terhadap guyonan yang ada di grup. Jika ada yang rasan-rasan alias gibah di grup itu, Eka ini yang juga mendapat royalti dosanya.



Tapi karena menjadi media silaturahmi, menjalin persaudaraan dan pertemanan, bisa jadi Eka juga yang mendapat transferan pahalanya. Bisa jadi. Selebihnya, terserah pada masing-masing kita dan Tuhan. Pahala dan dosa bukan kapling manusia, apalagi saya.

Kembali ke topik, kelas E. Yang dimaksud Kelas E di sini adalah kelas satu, sekrang istilahnya kelas VII angkatan 2004, dan kelas tiga, sekarang istilahnya kelas IX tahun 2006. Kelas duanya pisah-pisah. Menyebar dari kelas A sampai F.

Setelah ada grup, nostalgila kembali terjalin. Ada yang menenang masa ketika membeli makanan dari jendela kelas yang tak ada kacanya. (seperti lirik lagunya Iwan Fals Jendela Kelas Satu). Memang waktu itu, kelas 1. Ruang kelas E ada di samping warung milik Lik Salim. Dari jendela sisi selatan, anak-anak kelas E biasanya membeli makanan atau minuman.

Kalau saat pelajaran, tapi jamkos alias jam kosong, bisa sedikit teriak ke bibik pemilik warung, istrinya Lik Salim. Transaksi gelap terjadi di situ.

Kalau pas jam istirahat, pemilik modal yang ada di dalam kelas biasanya menitipkan kepada teman yang sudah ada di luar untuk membelikan makanan atau minuman. Dengan imbalan sebagian dari hasil transaksinya.

Ingatan saya merembet. Kepada kondisi kelas yang sedikit horor. Betapa tidak. Kelas E, waktu itu menjadi kelas yang paling dekat dengan ruang kosong. Yang hampir ambruk. Tepat di depan kelas D. Meskipun tidak sehoror kelas D yang harus melalui lorong derita ketika hendak masuk ke dalamnya.

Jadi ingat guyonannya Pak Subhan, guru matematika yang tidak pernah membawa buku pelajaran ketika mengajar. Sepertinya buku absen pun tidak mengajar. Suatu ketika, beliau mengajar, biasanya duduk di atas meja. Contoh yang sangat buruk kan? hehehehe.

"Kalau kelas ini ambruk, saya bisa lari duluan." Begitu salah satu kalimatnya. Alasannya, dia ada di dekat pintu. Beliau bercanda seperti itu karena kelas kami memang paling memprihatinkan waktu itu. Kelas F, yang ada di sebelah, berdekatan dengan kelas 2 yang sepertinya baru direnovasi. Sementara kelas E, menyatu dengan kelas kosong yang langit-langitnya sudah disangga oleh kayu. Dipastikan, kalau tidak ditopang kayu itu, rangkaian eternit itu akan merebahkan diri ke lantai dengan teratur.

Seingat saya dulu, kelas 1E dicat dua warna. Sebagian bawah temboknya berwarna biru, bagian atasnya berwarna putih. Yang dicat dengan asal-asalan. Bangkunya juga tidak seragam. Terlihat dari mode, bentuk, dan catnya yang tidak sama. Beraneka rupa. Meja gurunya juga peninggalan masa lalu. Tiangnya terbuat dari besi, papannya dari kayu. Kalau digeser, memunculkan bunyi yang memunculkan efek magis seperti dalam film horor.

Tapi, di balik kengerian kondisi kelas itu. Penghuninya sepertinya tidak pernah takut. Tetap ketawa ketiwi. Mungkin karena penghuninya punya banyak nyawa. Atau belum paham kalau kondisi itu di luar kondisi layak.

Bayangkan kalau waktu itu pemikiran Abdul Manan sudah seperti sekarang. Yang seorang wartawan. Pasti jadi bulan-bulanan berita.

Tulisan ini bersambung, kalau saya tidak enggan menulis. Atau kalau ada teman lain kelas E yang sudi menulis juga.

Salam.

Posting Komentar untuk "Sedikit Cerita tentang Kelas E SMP Negeri 1 Jenggawah"