Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aku adalah Anak Seorang Pemberontak

Tulisan ini ingin kutulis ketika ada di jalan. Mengendarai motor di sela kendaraan yang lalu lalang. Teringat sejak kecil sudah dijejali narasi-narasi pemberontakan, yang oleh bapak disebut sebagai perjuangan. Entah mengapa, aku merasa sangat bangga.



Tapi jangan dibayangkan, dia adalah seorang lelaki dengan badan yang kekar memanggul senjata, atau lelaki dengan tampang yang seram, misterius, dan pandai berorasi dengan berapi-api. Dia adalah lelaki biasa yang baru di usia senja punya seorang anak, dari seorang istri yang baru dinikahi dengan terpaut usia hampir 30 tahun.

Dia memang bukan pemimpin pemberontakan layaknya Santoso yang tewas di pegunungan di Sulawesi. Juga tidak seheroik Che Guevera, di memberontak karena merasa perlu memberontak. Terhadap kangkangan penguasa dan kroni-kroni yang telah merampas hak tanah turun-temurun.

Maka dari itu, sejak kecil aku selalu diberi narasi yang berbeda dari anak-anak di luar. Ketika sebagian besar teman-teman sekolah atau bahkan guru menganggap demo adalah hal negatif, gangguan ketertiban, aku menganggap demonstrasi sebagai wujud nyata dari sebuah perjuangan.

Bahkan sejak masih SD, selalu diajak oleh bapak untuk menonton berita di televisi. Melihat kerumunan manusia yang memenuhi gedung beratap hijau --yang baru belakangan kuketahui sebagai Gedung DPR MPR-- tentu dengan bumbu narasi dari bapak. Mendukung mahasiswa dan tokoh-tokoh reformasi. Sejak saat itu, aku bercita-cita untuk bisa menjadi mahasiswa. Tujuannya hanya: Biar bisa demo!

Memang keinginan untuk menjadi mahasiswa bisa tercapai, tapi untuk demo tidak punya nyali. Meski tidak antipati pada teman-teman yang melakukan demonstrasi, apapun organisasi mahasiswanya, apapun ide dan guguatan yang dilayangkan, aku tidak pernah sekalipun melakukannya sendiri. Apakah aliran darah dan keringat pemberontak yang ada dalam diri pudar? tentu tidak. Hanya lebih rasional.

Bapak lebih banyak mencontohkan 'pemberontakan' berdasarkan kepandaian. Dia lebih banyak mendukung dari belakang, menjadi penggalang dana untuk mereka yang berangkat berjuang. Perjuangan yang didukung oleh bapak, berupa upaya dari orang-orang seperjuangannya untuk menemui tokoh-tokoh di Jakarta yang peduli dan pro terhadap kami. Tapi dia tidak pernah berangkat sendiri.

Pun ketika suatu ketika, harus dipanggil oleh Danramil atau anggota Babinsa, dia selalu berhitung dalam bertindak dan berucap, sehingga tidak pernah merasakan pukulan dari bapak-bapak berbaju doreng. Lain halnya dengan teman-temannya, tidak sedikit yang pernah ditempeleng, ditendang, atau minimal dibentak. Kadang aku berpikir, dia cerdik juga.

Hingga saat ini pun, aku masih bangga, apalagi ketika bertemu dengan orang-orang sesama pejuang hak atas tanah kami. Aku sering mengorek informasi tentang perjuangan. Tentang kesulitannya, tentang keberhasilan kami semua.

Narasi tentang pemberontakan terhadap penguasa yang lalim, acap kali masih diucapkan dengan penuh semangat oleh bapak, meski tubuhnya sekarang sudah renta. Sambil berbaring di tempat tidurnya dia bercerita penuh semangat, cerita perjuangan yang telah berulang kali dia ceritakan, bahkan aku sudah hafal betul alur cerita dan kejadiannya aku tetap semangat juga mendengarkan. Sambil sesekali memberikan informasi terkini, baik tentang orang ini sekarang menjadi ini, tokoh mahasiswa yang dulu membantu tanah kami sekarang sudah jadi ini dan sempat terjerat kasus ini.

Aku yakin, narasi perjuangan memang harus tetap digelorakan untuk menumbuhkan semangat pergerakan ke arah yang lebih baik. Bukan sekadar untuk menghakimi lawan masa lalu.

Posting Komentar untuk "Aku adalah Anak Seorang Pemberontak"