Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jalan Protokol Jember Satu Arah, Maunya Apa?

  Perubahan memang membutuhkan penyesuaian. Perubahan sekecil apapun, akan memunculkan penolakan, mungkin juga ada yang pro. Karena adanya perubahan pasti membawa dampak. Begitu juga dengan perubahan arus lalu lintas di jalan protokol Kabupaten Jember. 

Sumber Gambar: Dishub Kabupaten Jember


Bagi masyarakat Jember, yang sering masuk ke jalanan Jember kota, pasti tidak asing dengan perubahan arah arus lalu lintas. Yang sering diotak-atik, diubah, dan disesuaikan adalah arus lalu lintas di pusat kota. Khususnya jalan di sekitar pasar tanjung. Sudah tidak terhitung lagi, berapa kali perubahan arus lalu lintas di jalanan pusat kota Pandhalungan ini.

Perubahan arus lalu lintas tidak pernah dilakukan di Jalan Gajah Mada maupun Jalan Hayam Wuruk, dua jalan utama yang terdiri dari dua lajur terpisah. Jika pun ada hanya karena event tertentu, bukan semata-mata untuk tujuan permanen. Di kedua jalan yang lebar ini, sering diubah arus putarnya dan persimpangan jalannya. 

Namun, pada 28 September 2021, Ji Hendy, Bupati Jember melontarkan pernyataan bahwa akan ada perubahan arus lalu di Jalan Gajah Mada. Jalan Gajah Mada yang awalnya bisa untuk ke timur dan ke barat, hanya dikhususkan untuk ke timur saja. Dimulai dari persimpangan Perumahan Argopuro - Jl. Imam Bonjol (MAN 1 Jember). Tentu ini perubahan besar. Berdasarkan penuturan Bupati Hendy ini dilakukan untuk membagi beban jalan dan pemerataan ekonomi. 

Jalan Cendrawasih, cenderung lengang. Setelah ini pengubahan arus lalu lintas ini, Jalan Cendrawasih dipastikan ramai. Yang dapat meningkatkan dan mengerek pertumbuhan ekonomi di sekitar jalan tersebut. Itu untuk yang aksesnya hendak 'pulang' dari Jember Kota ke arah utara. Masalahnya beban jalan lain juga pasti akan meningkat. Misalnya jalan KH. Shiddiq di talang sari, yang bersambung pada Jl. Agus Salim, dan Jalan Imam Bonjol . Di persimpangan-persimpangan jalan tersebut pasti juga akan muncul penumpukan kendaraan. 

Semoga jalan penopang di sebelah utara dan sebelah selatan jalan Gajah Mada juga mendapat perhatian. Jalan memang memiliki fungsi utama sebagai sarana penghubung, yang otomatis akan menggerakkan roda ekonomi antar wilayah yang dihubungkan. Sekaligus menjadi pusat pertumbuhan di jalan yang dilalui. 

Setidaknya jalan yang ramai, akan membuat kegiatan ekonomi di sekitar jalan tersebut tumbuh. Para pedagang dan penyedia jasa di sepanjang jalan yang awalnya lengang tersebut akan mendapatkan dampak positif. Tapi sepertinya akan muncul keluhan bagi para pengguna jalan itu sendiri. Waktunya pasti akan habis di jalan untuk berputar, dan terjebak kemacetan. 

Bukan hanya warga dari arah barat yang kesulitan, warga dari arah timur yang hendak ke barat juga pasti kesulitan. Misalnya warga sumbersari, yang hendak ke SMA 4 Jember, yang awalnya bisa langsung melalui jalan  Trunojoyo - Jl. HOS Tjokroaminoto - Jalan Gajah Mada - Jl. Hayam Wuruk, harus berputar lewat jalur selatan. Misalnya melalui Jl. KH. Shiddi, berupat hingga melalui jalan Imam Bonjol, baru bisa keluar melalui simpang empat Argopuro. Warga tersebut, lebih mudah pulangnya. Lurus, lengang, tanpa kemacetan lampu merah di Jalan Gajah Mada. 

Begitu juga dengan warga yang berasal dari arah Mangli, berangkatnya mungkin mudah. Lurus, lengang melalui Jalan Gajah Mada, tapi pulangnya ke arah barat harus berputar. Terserah mau memilih jalur pulang lewat utara, Jalan Cendrawasih, Jalan Bandeng- sampai ke Mangli, atau berputar lewat selatan, melalui jalan Imam Bonjol, atau berputar lebih ke selatan lagi, melalui jalur terminal Ajung. 

Kalau bukan perkara emergency mungkin masih bisa ditoleransi. Tapi perputaran jalan dan kemacetan jalan penopang di sekitar jalan Gajah Mada pasti berdampak juga untuk layanan darurat. Misalnya untuk kendaraan Pemadam Kebakaran, Ambulance. Meningat, tiga rumah sakit ada di sekitar Jalan Gajah Mada. RSU Kaliwates, RS Bina Sehat, dan RS Siloam. Bayangkan, misalnya ada panggilan darurat ambulance RSU Kaliwates dari arah Mangli. Ambulance harus berputar dulu ke timur, yang sangat jauh sekali, dibandingkan langsung menuju ke barat, melalui jalan Gajah Mada.

Semoga saja, kebijakan-kebijakan Pemerintahan Kabupaten Jember di bawah komando Hendy Siswanto, bukan semata-mata kebijakan yang diambil secara emosional tanpa kajian yang memadai dan komprehensif. Masyarakat Jember tentu jengah, dengan kebijakan-kebijakan lalu lintas yang 'tidak tahan lama', tidak berkelanjutan dari periode pemerintahan sebelumnya. 

Di akhir masa MZA Djalal, ada kebijakan pembutan pita kejut di jalan-jalan protokol Kabupaten Jember, yang oleh warga akhinrya jember dijuluki sebagai 'Kota Dak gradak'. Merujuk pada bunyi kendaraan saat melewati pita kejut tersebut. Juda dijuluki sebagai kota seribu polisi tidur, merujuk pada istilah masyrakat untuk jalan yang sengaja diberi gundukan untuk mengurangi kecepatan yang melintas. 

Di masa kepemimpinan Bupati Faida, dibangun lampu lalu lintas di samping Masjid Raudlatul Muchlisin. Dianggap tidak efektif, akhinrya ditutup. Simpang empat dan lampu lalu lintasnya kemudian tidak difungsikan.

Kebijakan terbaru ini, dari Bupati Hendi 'hanya' mengubah arus, tanpa mengeluarkan anggaran pembangunan. Mungkin hanya sosialisasi. Tapi kebijakan ini akan sangat berdampak luas. Semoga kebijakan di Jember tidak lagi hanya 'trial and error'. Tapi benar-benar dikaji, untuk kepentingan masyarakat luas. Bukan hanya segelintir orang di sekitar penguasa saja. 

Posting Komentar untuk "Jalan Protokol Jember Satu Arah, Maunya Apa?"