Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lumpuhnya Pancasila | Esai Tulisan Buya Syafi'i Maarif di Koran Kompas, 31 Mei 2021

 LUMPUHNYA PANCASILA

Ahmad Syafii Maarif

Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005

Sepintas lalu mungkin terkesan artikel ini bernada pesimistis dalam membaca perjalanan bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.

Bisa saja kesan itu ditafsirkan demikian, sekalipun tujuan penulisannya sebaliknya, yakni agar Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya pada tataran filosofi dan teori -yang tak diragukan sebagai temuan terbaik para pendiri bangsa yang dipandu Bung Karno- tak dibiarkan lagi terlunta-lunta di tangan anak bangsa yang tak mau belajar. Dalam kaitan ini, momen bulan Mei dan Juni penting untuk disegarkan kembali dalam ingatan kolektif kita. Lalu, kita teropong, apakah perjalanan bangsa dan negara ini masih berada di jalur yang benar, jalur Pancasila. 

Tanggal 28 Mei 1945, masih di bawah kekuasaan Jepang, dimulai sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang aslinya tanpa I (Indonesia). Anggota BPUPK ini dilantik Letnan Jenderal Yuichiro Nagano, Panglima Tentara ke-XVI Jepang, yang ditugaskan di Indonesia mulai 26 April 1945, menggantikan Letjen Kumakichi Harada.

Kita tentu tak perlu malu menyebut bahwa yang melantik anggota badan itu penguasa asing karena memang yang berkuasa ketika itu Jepang sebagai pelanjut penjajahan Belanda yang dihalaunya, Maret 1942. Dalam perdebatan sidang-sidang BPUPK itu, "bau" Jepang memang masih terasa. Namun, dalam pidato Soekarno tentang Pancasila 1 Juni 1945, dalam bacaan saya, "bau" Jepang itu tidak tercium. Soekarno dan Hatta pernah bekerja sama dengan penguasa Jepang semata-mata karena keharusan sejarah. Dengan demikian, adanya ejekan bahwa  keduanya adalah anjing Jepang bukanlah fakta, melainkan ujaran kebencian yang tak terkendali.


Nasib Pancasila: etalase politik

Dengan petikan latar belakang sejarah singkat itu, mari selanjutnya kita pusatkan perhatian pada nasib Pancasila dalam rumusan 18 Agustus 1945 sebagaimana kita warisi sekarang ini. Rumusan ini berasal dari Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, dengan menghilangkan tujuh kata sebagai pengiring sila pertama. Kecuali kelompok sempalan sumbu pendek, tak seorang pun meragukan Pancasila adalah pilihan dan keputusan terbaik sebagai pedoman utama untuk mengawal perjalanan bangsa dan negara ini untuk masa yang tak terbatas.

Pertanyaannya: apakah Pancasila sejak Proklamasi 1945 telah lulus dalam ujian sejarah? Jawabannya ternyata berlawanan: ya dan tidak. Ya, jika dikaitkan dengan konstitusi dan hukum dasar yang selalu menjadikan Pancasila sebagai sakagurunya. Semua konstitusi Indonesia berdasarkan Pancasila. Jadi, posisi Pancasila secara konstitusional sudah cukup kuat dan aman. 

Namun, sekali menyentuh pelaksanaan nilai-nilai luhurnya dalam politik negara dan strategi pembangunan nasional, maka Pancasila sering dibiarkan tak berdaya, sekalipun dalam kata pengantar Rancangan Pembangunan Nasional dasar negara itu selalu disebut. 

Pada awal Orde Baru tahun 1966, semboyan yang terus saja diulang-ulang menyebutnya adalah pelaksanaan Pancasila dan UUD  1945 secara murni dan konsekuen. Secara teori sudah sangat benar, tetapi dalam praksisme, Pancasila hanya berfungsi sebagai etalase. Fenomena ini belum banyak berubah sampai hari ini. Contoh konkret, Pasal 33 UUD 1945 dan gerakan koperasi sebagai salah satu bentuk pelaksanaannya dalam kehidupan ekonomi bangsa dibiarkan ringkih, dan negara tak pernah meratapinya. 

Apalagi kiprah parpol, nyaris tak ada sentuhannya dengan Pancasila, kecuali dalam bentuk verbal. Kesimpulan saya sejauh ini: kita tak sungguh-sungguh mengurus bangsa dan negara ini jika Pancasila sebagai dasar filosofi negara dijadikan parameter utama. Saya ulangi, Pancasila hanyalah didudukkan sebagai etalase politik. Adapun perilaku sebagai penguasa, pengusaha, politisi, dan tak mustahil para tokoh agama, secara telanjang telah mengkhianati nilai-nilai Pancasila itu dalam perbuatan. 

Saya sungguh cemas, apakah menjelang 100 tahun usia kemerdekaan RI 2045, Pancasila ini masih dibiarkan lumpuh, tak bertenaga seperti pengalaman sejak proklamasi? Sejarah modern Indonesia membeberkan fakta ini. Semuanya terkait Pancasila dan UUD 1945.

Di era Demokrasi Terpimpin (DT) 1959-1966, secara masih gerakan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi) dengan Manipol-Usdek-nya membahana di seluruh Indonesia. Atap-atap kantor, sekolah, rumah dengan cat pulih bertuliskan Manipol-Usdek. Penataran marak di mana-mana dengan penuh semangat tinggi. Poros Jakarta-Peking-Pyongyang menjadi mantra nasional. Prinsip politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif telah tenggelam dalam sendirinya karena jelas sudah berpihak pada satu blok.

Ujungnya kita semua tahu: malapetaka nasional. Apakah pengalaman pahit ini tak membuat bangsa ini jera dan mau belajar? Pancasila dan UUD 1945 terkapar dalam tragedi berdarah-darah itu. Tubapi hanya bertahan enam tahun, kemudian menghilang bersama dengan pergantian rezim. Bangsa dan negara saat itu menjadi oleng, seperti kehabisan napas. Perpecahan politik nasional berada pada titik didih yang amat mencemaskan. Di era DT, para pendiri bangsa terbelah, sebagian merapat ke Istana, sebagian meringkuk dalam penjara. 

Bahkan ada yang wafat di luar negeri dalam rangka berobat sebagai tahanan politik. lalu, dengan serta-merta diangkat menjadi pahlawan nasional dengan Keppres No 76 Tahun 1966, tertanggal 9 April 1966, persis pada tanggal kematiannya. 

Apa-apaan ini? Betapa mahirnya kita mempermainkan nyawa manusia. Ini tragedi nasional yang masih tersimpan baik dalam catatan sejarah modern Indonesia. Indonesia yang berdasarkan Pancasila! Pancasila yang diagungkan secara lisan, dikhianati dalam perilaku.

Era berganti, penguasa bertukar, semua pemainnya orang Indonesia asli. Bangsa dan negara ini, alhamdulillah, masih bertahan, sekalipun terseok-seok dan tertatih-tatih dengan utang luar negeri kian melambung. Dimulai 1966, berakhir 1998. Cukup lama, 32 tahun, Indonesia di bawah Orde Baru, dikomandani seorang jenderal angkatan darat (AD), mantan tentara Pembela Tanah Air bentukan Jepang. Karena adanya semboyan "melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen", orba dapat dukungan masyarakat luas. Diharapkan di bawah sistem baru ini, Pancasila benar-benar dijadikan pedoman utama penyelenggaraan negara. 

Orba ditegakkan di atas reruntuhan DT yang ternyata sendinya rapuh, tak tahan lama. Sistem demokrasi yang melekat Orba disebut demokrasi Pancasila yang secara teori adalah pelaksanaan dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni dan konsekuen. Lain teori, lain pula praktik. Sejak awal 1970-an secara perlahan Orba telah membunuh demokrasi atas nama Pancasila dan UUD  1945. Apa yang dikenal dalam teori  demokrasi prinsip checks and balances, absen selama era Orba. Semuanya ditentukan kepemimpinan tunggal. Budaya asal bapak senang (ABS) benar-benar menjadi tontonan harian. Sila keempat Pancasila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" benar-benar mati suri di bawah kekuasaan Orba. Bung Hatta sebagai patriot-pejuang kemerdekaan, proklamator, dan demokrat sejati tak dihargai oleh sistem Orba sampai wafat pada 14 Maret 1980.

Memang, pada tahun-tahun pertama Orba, optimisme publik sangat terasa. Namun, malangnya tak berlangsung alam, optimisme itu memudar perlahan, tetapi pasti. Perpecahan elite AD mulai muncul, makin lama makin parah, mengikuti perpecahan para pendiri bangsa di era yang baru tumbang. Saya bisa berbicara rinci rentang ini, tetapi sengaja disamarkan. Sistem Orba sekalipun masih bertahan sampai 1998, fondasinya mulai keropos sejak awal 1970-an. 

Sebagai pelopor Orba disingkirkan tanpa pertimbangan yang arif dan ada pula yang dipenjarakan. Jika di akhir era sebelumnya pendapatan perk kepala hanya 70 dollar AS, kebijakan Orba mulai memperbaiki angka ini melalui repelita-repelita, tentunya melalui pinjaman luar negeri. Pada 1997, pendapatan per kepala meningkat menjadi 1.100 dollar AS, sebuah peningkatan yang cukup tinggi. Hasil ini juga sangat didukung ledakan harga minyak 1973-1983. Minyak sangat menolong rezim Orba yang otoritarian untuk bertahan lama.

Pembangunan nasional dibidani kelompok yang disebut "Mafia Berkeley" di bawah pimpinan Prof Dr Widjojo Nitisastra. Kelompok inilah arsitek utama pembangunan ekonomi nasional Orba. 

Tameng penguasa

Diawali tahun 1979, Gerakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dilancarkan melalui penataran untuk PNS dan anggota masyarakat lainnya. Sebagai PNS saya pada 1984 termasuk yang wajib ikut penataran ini. Hampir saban hari saya berdebat dengan para manggal (penatar) p4 itu karena merasa tak banyak bedanya dengan indoktrinasi Tubapi yang pernah saya ikuti sebagai mahasiswa ketika itu. 

Materi P4 dengan butir-butir penjabarannya semuanya baik saja untuk dijadikan pedoman bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Celakanya, gerakan P4 ini punya tujuan terselubung untuk melestarikan kelangsungan rezim Orba yang serupa rezim DT, dalam arti mengusung penafsiran kebenaran tunggal Pancasila menurut versi penguasa. 

Penataran P4 berlangsung selama 19 tahun sampai Orba tumbang pada 1998, dipicu krisis moneter Asia Timur 1997. Fondasi ekonomi Orba yang dikatakan kuat itu ternyata rentan dan goyah. Penguasa Orba tak punya pilihan kecuali takluk pada kehendak IMF dan Bank Dunia. Dengan tumbangnya rezim Orba, untuk kedua kalinya nasib Pancasila menjadi taruhan. Gerakan P4 yang menyatu dengan rezim juga berantakan. 

Bahkan yang lebih mencemaskan timbul perasaan anti-Pancasila, sesuatu yang sangat berbahaya. Inilah risikonya jika Pancasila dijadikan tameng penguasa, sedangkan nilai-nilai luhurnya ditindas dalam tindakan politik kenegaraan. Luka-luka Orba belum lagi sembuh sampai hari ini. Tubuh bangsa dan negara tetap saja dililit utang yang melemahkan prinsip Tri Sakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan!

Sejak pertengahan 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang dalam teori punya slogan anti-korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sekarang kita sudah berada di pertengahan 2021. Gerakan Reformasi sudah berumur 23 tahun dan menampilkan enam presiden. 

Apakah KKN sudah menghilang? Jawabannya: malah kian subur. Dimana Pancasila? Untuk kesekian kalinya masih dijadikan etalase politik. Pancasila tak bertenaga berhadapan dengan KKN yang menggerogoti sendiri kultur bangsa. 

Tahun 2017, karena dirasakan nasib Pancasila kian tak menentu, antara lain digempur radikalisme dan ideologi transnasional, dibentuklah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), kemudian ditingkatkan menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Saya salah satu anggota Dewan Pengarah. Sudah empat tahun berjalan, BPIP masih disibuki kerja penataan organisasi ke dalam. selain menyiapkan ujung panah Pancasila agar bisa menembus dinding politik, ekonomi, dan birokrasi yang dinilai masih berjarak jauh dengan cita-cita kemerdekaan, berupa terwujudnya sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan terlaksananya Pasal 33 UUD 1945.

Apakah BPIP akan bernasib seperti Tubapi dan Gerakan P4? Jawabannya sangat tergantung pada keberhasilan atau kegagalan  negara/pemerintah sebagai eksekutor utama (bukan tunggal, sebab masyarakat turut bertanggung jawab) melaksanakan ideologi Pancasila  dalam proses pembangunan nasional.

Di sini peran niat dan kemauan politik akan sangat menentukan. Jika perlakuan terhadap Pancasila tetap saja sebagai pemanis bibir, BPIP tak mustahil akan mengikuti nasib buruk pendahulunya: Tubapi dan Penataran P4. Korbannya adalah bangsa dan negara, terutama mayoritas rakyat kecil yang akan semakin terpinggirkan dalam roda pembangunan nasional yang kini sedang diguncang pula oleh serangan Covid-19 yang tak kenal ampun itu. 

Saya berharap agar Pancasila jangan lagi dikhianati oleh siapa pun sehingga menjadi lumpuh dalam mengawal kemerdekaan bangsa. jangan dibiarkan lagi tahun-tahun kemerdekaan ini berlalu dengan sia-sia. Indonesia  terlalu mulia untuk dijadikan ajang pertarungan politik tuna adab dengan membenamkan Pancasila ke bawah debu sejarah!

Syafii Maarif mengantre saat berobat

Dari essay yang ditulis oleh seorang Guru Bangsa ini, kita diajak untuk melihat secara jernih, dan berpikir secara bersih. 

Melihat rangkaian sejarah penerapan Pancasila sebagai dasar negara, Profesor Syafii Maarif mengajak untuk objektif melihat penerapannya. Mulai dari awal kemerdekaan, kepemimpinan Soekarno yang akhirnya menjadi Demokrasi Terpimpin (DT), Pancasila hanya sebagai slogan, --bahasa beliau 'etalase'. Hanya tempat memajang, tanpa bisa digunakan. 

Di masa Soeharto, dengan Orde Baru-nya, tidak ada bedanya. Semua hanya jargon, dengan tafsir tunggalnya. Setelah reformasi, pun masih begitu. Beliau sendiri dengan berani mengkritik penguasa kali ini, meskipun beliau adalah anggota dewan pengarah BPIP, tapi selama ini, lembaga yang seharusnya menjaga ideolog bangsa, justru 'hanya' sibuk penatan organisasi, bukannya seharusnya sudah beraksi. 

Syafii Maarif, sebagai pembelajar dan pelaku sejarah bukan hanya jernih memberikan contoh pembacaan atas masa lalu, tapi juga memberikan teladan pada generasi muda bagaimana seharusnya berpancasila. 

Mulai dari kejernihan ilmu pengetahuan, bahkan sampai dalam tindakan. Tidak sedikit yang menggambarkan tindakan beliau itu mandiri, belanja sendiri, hidup tanpa pembantu rumah tangga, naik angkutan umum, mengantre saat berobat, bahkan di rumah sakit yang bisa memberikan layanan khusus kepada beliau. 

Syafii Maarif tidak mau melakukan itu, dia tidak perlu ndakik-ndakik menjelaskan apa itu berdikari, dia bisa mencontohkan langsung. Bisa melaksanakan pekerjaan dengan kemampuan dirinya sendiri. 

Syafii Maarif adalah pelaku dan penghayat Pancasila sejati, karena itu, berani lantang kritis pada siapa saja penguasanya. Dia tidak pernah tersandera, dia bebas dalam berpikir, bebas dalam berucap dan berpendapat. 

Semoga mendapat jalan terang, diterima di sisi Allah Swt. Alfatihah.

Posting Komentar untuk "Lumpuhnya Pancasila | Esai Tulisan Buya Syafi'i Maarif di Koran Kompas, 31 Mei 2021"