Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keris Bapak

Di Lebaran 2021 ini tetiba bapak minta dua keris sisa yang dimilikinya untuk diberdirikan. Di tempelkan ke tembok. Biasanya hanya diletakkan di atas lemari. Maka, di hari kedua lebaran, saya pasang paku di dinding kamar bapak. Untuk menggantung keris. 

Kedua keris yang dimiliki bapak bernama Omyang dan Tilamsari. Sebelumnya punya, punya tiga keris. satunya bernama Mengkang Jagat. 


Mengkang Jagat ini didapat oleh bapak dari membeli. Beli ke orang yang datang ke rumah. Mengknag jagat ini pamornya 'sodo lanang'. Menurut penuturan bapak, pemegang keris ini bisa ditakuti oleh orang yang berniat jahat.

Keris Mengkang Jagat inilah yang akhirnya diberikan kepada Bik Narti. Adik kedua ibu saya. Karena Bik Narti ini tinggal di perantauan. Di Sumatera. Saat berkunjung ke rumah, saat saya masih SD, bapak memberikan Mengkang Jagat ini kepada Bik Narti. Di perantauan itu, banyak rampok katanya. 

Saya masih ingat pesan bapak pada Bik Narti saat memberikan Keris Mengkang Jagat. Bik Narti dilarang memuja keris itu, dilarang memberi kembang atau perlakuan khusus. Pesan bapak, yang patut disembah mung gusti pengeran. Keris itu hanya besi. Yang bisa patah ketika ditekuk. 

Pernah saya tanyakan, kenapa keris Mengkang Jagat itu diberikan kepada orang lain, katanya pemilik keris Mengkang Jagat nggarai kereng, nggarai songar. Menjadi sok. Karena punya andalan kerias yang namanya saja sangar, Mengkang Jagat. 

Keris kesayangan bapak adalah dua yang tersisa, Omyang dan Tilamsari. Lebih khusus lagi yang Omyang. 

Tilamsari didapat bapak dengan membeli. Kepada orang yang menjajakan keris ke rumah. Si penjual macak seperti dukun. Bapak tinggal  beli saja. Karena kebetulan ada uang. Tidak ada yang begitu spesial dengan Tilamsari ini. Menurutnya, nggarai ayem. Gitu saja. 

Sementara Keris Omyang yang dimiliki bapak, mendapatkannya ada cerita yang agak unik. Sekian malam sebelumnya, bapak bermimpi ada cahaya yang masuk ke rumah. Berputar-putar di dalam rumah kemudian berhenti di atas meja. 

Tak lama kemudian, saat berkunjung ke rumah Hasyim --temannya sejak kecil, di Loji Desa Kaliwining-- ada orang yang menawarkan keris. Bapak kebetulan tidak punya uang. Tapi, Hasyim memaksa bapak untuk membelinya. Katanya, cocok untuk bapak. 

"Aku gak nduwe duit, Syim."

"Tak utangi, Cak." Hasyim memang memanggil bapak saya Kang Yakub dan kadang Cak Yakub.

"Nyerahe piye?"

"Serahi kenek, gak yo kenek."

Karena proses itu, bapak punya pandangan bahwa keris Omyang itu memang 'jodoh' untuk dimiliki. 

Menurut bapak, keris memang jodoh-jodohan. Kalau memang jodoh, baik didapat dari beli atau diberi pasti akan datang. Kalau memang tidak jodoh, pasti akan dijual atau diberikan pada orang lain, bahkan secara cuma-cuma. 

Ada yang agak unik dari bapak. Menurutnya Tilamsari itu boleh dijual. Asalkan mahal. Sementara kalau Omyang --berdasarkan proses mendapatkannya-- tidak boleh di jual. 

Pernah suatu ketika saya tanyakan,

"Dituku piro ae gak oleh didol?" 

"Gak oleh. Iku jodoh."

"Lha nek larang? Diijoli sawah sak hektar misale."

"Lha nek sak etar, yo oleh."

Wkwkwkwk.

Nah, di hari keempat lebaran 1442 Hijriyah ini, bapak kembali meminta kerisnya untuk diturunkan. Saya turunkan kembali. Karena bungkus plastik kreseknya sepertinya sudah dibakar oleh ibu, saya ganti bungkusnya dengan kain hitam. Bapak menanyakan akan diletakkan di mana. Saya usul untuk tetap diletakkan di atas lemari yang ada di dalam kamar bapak. Dan bapak menjawab: sekarep. 

Sembari tiduran --karena memang sudah lama bapak sakit dan hanya tiduran di kamarnya-- saya tanyakan kepemilikan keris itu. Apakah diberikan pada saya. Bapak menjawab dengan tegas: Tidak! 

Ketika saya tanyakan alasannya: takut akan saya jual kalau diberikan pada saya. Bapak melanjutkan, suatu saat kalau bapak meninggal, keris itu tak mungkin dibawa. "Pek en." Katanya.

Sambil tetap rebahan, bapak juga menceritakan tentang kerisnya Gus Hamid Bangsalsari. Keris semar mesem. Juga cerita tentang "Klambi Ontokusumo Kiai Khotib Curah Kates" yang kebal dari tapak paluning pande, alias tidak mempan senjata tajam. Juga cerita Kul Buntet milik Kiai Masduki Rambipuji, Kakaknya Kiai Mashur. Guru Bapak. Ada baiknya, cerita-cerita itu dituliskan di lain bagian. 

Jimat yang pasti diajarkan oleh bapak pada saya adalah kalimat Tauhid. Laa ilaaha illallah...

Posting Komentar untuk "Keris Bapak"