Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Guru Chat Box dan Tugas Beratnya di Masa Pandemi | Tanggapan Disway.id

Guru Chat Box adalah judul artikel dalam disway.id yang ditulis oleh Dahlan Iskan. Terbit tanggal 20 Desember 2020. Dalam artikel tersebut, Dahlan Iskan meminta ada guru yang menulis pengalamannya selama pandemi, saat pembelajaran dilakukan secara online. Harian Disway siap menampung tulisan tersebut. 


Pada dasarnya hal yang dialami oleh guru, di negara manapun pasti akan mengalami hal yang sama. Kesulitan beradaptasi dengan lingkungan dan cara belajar yang sama sekali baru. Tanpa tatap muka secara langsung. 


Dalam artikel Dahlan Iskan tersebut, disebutkan guru tidak mewajibkan murid-muridnya untuk mengaktifkan kamera. Karena menurut sang guru, jika kamera murid-muridnya wajib dalam kondisi on dikhawatirkan akan memunculkan masalah sensitif. Sang guru khawatir muridnya yang kondisi rumahnya jelek, sempit, atau kondisi tidak layak lainnya diketahui oleh guru dan teman-teman yang lain. 


Tentu hal tersebut tidak akan terjadi di Indonesia. Maksudnya perasaan minder karena lingkungan keluarga dan rumah yang tidak layak biasanya tidak menjadi masalah bagi pelajar Indonesia kebanyakan. Yang menjadi masalah di Indonesia lebih penting dari itu. Sekolah tatap muka tidak diizinkan karena alasan kesehatan, sementara sekolah online tidak didukung oleh fasilitas yang memadai. 


Hal ini saya dapat lihat dari empat keponakan yang sekolahnya terpaksa dilakukan secara daring (online). Serta pengalaman istri yang juga mengajar di sekolah swasta, milik Yayasan Pondok Pesantren. 


Tiga keponakan dari empat keponakan sudah kelas 3 SMA. Dua anak bersekolah di SMA swasta di pusat kota kabupaten. Satu keponakan bersekolah di sekolah negeri. Sementara satu keponakan masih kelas 6 SD, di SD Negeri di kampung saya. 


Dari masing-masing sekolah sudah sangat beda jauh. Cara mengajar gurunya, cara meminta tagihan tugasnya. Juga cara mengerjakan tugasnya. Meskipun mengerjakan tugas adalah salah satu cara belajar, pada akhirnya di masa pandemi ini, kebanyakan siswa 'hanya' diberi tugas untuk mengirimkan tagihan tugasnya. Dengan metoda yang terlalu konvensional. Melalui WA. 


Hanya satu keponakan yang tagihan tugasny menggunkan media yang cukup variatif. Adakalanya tugas dari guru dan pengumpulan tugas dari siswa menggunkan fasilitas dalam google drive. Terkadang juga mengerjakan tugas melalaui google formulir. Jika ada tugas yang demikian, minimal siswa bisa belajar memanfaatkan teknologi yang tersedia. Bisa belajar menggunakan fasilitas google. Oh ternyata google tidak hanya digunkan untuk mencontek. 


Kalau yang mengerjakn melalui WA. Ya hanya sebatas itu-itu saja. Memang simpel. Tapi jika itu dilanjutkan tentu manajemen file di handphone sang guru pasti tidak akn muat. Menampung gambar dan file dari seluruh muridnya.


Tapi itu masih belum seberapa. Ada hal yang lebih pelik lagi. Beberapa murid istri saya sama sekali tidak bisa mengikuti pelajaran. Yang punya handphone tidak semuanya smartphone. Yang punya smartphone tidak semuanya punya akses internet, baik paket data maupun wifi murah. Bahkan yang lebih parah, ada siswa yang sama sekali tidak punya handphone.


Jika masalah di Amerika seperti yang dijelaskan oleh Dahlan Iskan 'hanya' karena takut rumahnya yang tidak layak diketahui oleh teman-temannya, tapi mereka masih bisa mengakses pendidikan. Di Indonesia, problemnya lebih parah. Banyak murid yang justru kehilangan akses terhadap sumber belajar. 


Dari sini, kreativitas guru lebih dibutuhkan. Istri saya misalnya, tetap mengajar dengan jumlah siswa yang terbatas. Juga jam yang terbatas. Materi dimampatkan. Diambil yang paling penting, diambil materi yang sekiranya paling dibutuhkan oleh siswa. Tidak ada lagi target materi yang harus selesai. Jika itu dipaksakan, justru siswa tidak kan mendapat apa-apa. 


Maka, pandemi covid-19 ini seharusnya menjadi titik tumpu untuk mengembalikan esensi pendidikan. Menjadikan siswa terdidik dan terpelajar. Sekaligus mengembalikan esensi guru sebagai profesi. 


Guru merupakan profesi yang dituntut memiliki kecakapan yang mumpuni sekaligus memiliki kemerdekaan dalam menentukan sikap dan tindakan layaknya seorang dokter. Yang berhak secara mutlak dalam menangani pasien, obat apa yang akan diberikan, kapan diberikan, berapa takaran yang diberikan. Tentu sesuai dengan bidang keahlian dan spesialisasi masing-masing.


Pun begitu dengan profesi guru. Sudah seharusnya dan semestinya guru memiliki kecapakan sesuai dengan keahliannya yaitu mengjar, dan spesialisasinya adalah bidang pelajaran yang berhak diajarkannya. Seharusnya batasannya adalah kurikulum secara umum, siswa harus bisa apa. Selanjutnya materi ajarnya, apa yang diajarkannya, bagaimana cara mengajarkan, seberapa banyak dosis yang diberikan tentu disesuaikan dengan kondisi pasien, dalam hal ini adalah kondisi siswa. Yang tentu tidak akan sama. 


Jika sudah begitu, siswa akan benar-benar belajar. Belajar apa yang benar-benar dibutuhkan. Mengembalikan esensi belajar dan sekolah yang sesungguhnya. Menjadi manusia yang terpeljar dan terdidik. Tentu untuk membuka keluasan cakrawala berpikir, dan mengasah kemampuan yang benar-benar dibutuhkan oleh siswa dalam mengarungi kehidupannya. 


Ketika pandemi ini usai, sudah seharusnya semua pendidik dan orang-orang pengambil kebijakan terkait pendidikan memikirkan hal ini. Bukan justru kembali ke pola pendidikan sebelum pandemi yang cenderung hanya 'menghabiskan materi'. Tapi membuat anak didik untuk menjadi lebih berarti. (*muntijo)

Posting Komentar untuk "Guru Chat Box dan Tugas Beratnya di Masa Pandemi | Tanggapan Disway.id"