Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita tentang Pemberian Nama Lutfiana Muslimatul Aisyiyah

Sebagian nama ini telah disiapkan, sebagian lagi pemberian mendadak. Yang jelas, kami tidak perlu browsing dan searching ke mana-mana. Hanya membuka lipatan-lipatan ingatan. Tentang ini tentang itu.

Saya beserta istri, ingin memberikan nama dengan beberapa kriteria:
- Pendek tidak terlalu pajang, targetnya maksimal dua kata.
- Merujuk pada tokoh atau hal besar, sebagai mimpi dan doa.
- Unik, tapi tidak njelimet.
- Enteng, karena sebagai orang jawa,  masih ada kekhawatiran anak nanti kabotan jeneng. 
- Mambu Arab mambu Jowo.

Hasil USG dari dokter, kemungkinan anak kami perempuan. Tapi kami siapkan dua nama. Nama laki-laki, nama perempuan. Siapa tahu prakiraan dokter salah, bukan perempuan.

Dimulailah pencarian nama. Saat santai di rumah, saat di atas motor sambil ngobrol, saat menunggu antrian untuk pemeriksaan dokter kandungan untuk USG. sering digunakan untuk mendiskusikan nama si calon bayi yang saat itu masih ada dalam kandungan.

Maka muncul nama-nama aneh. Inginnya juga yang mengesankan tentang hari kelahiranya. Perkiraan kan awalnya lahir saat perayaan lebaran ketupat. Sekitar 7 syawal 1440 H. Maka ada ide kelakar untuk memberi nama 'Siti Ketupatwati'. Hehehe. Ngawur yak.

Selain nama perempuan, juga tebersit ide untuk memberikan nama Mohamad Natsir, seperti salah satu nama anggota konstituante, lembaga yang dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekritnya pada 1959. Tokoh yang saya baca bukunya (Agam dan Negara). Handal, pemikir ulung, keren. Musuh bebuyutan DN Aidit dan kawan-kawannya dari PKI. Tapi tidak jadi, terlalu mirip dengan nama bapaknya.

Sempat juga tebersit ingin memberikan nama Ainun Najib dengan berbagai variasinya. Tentu ini ide saya, bukan hasil diskusi dan kompromi dengan istri. Karena ada tiga orang Ainun Najib dengan kehebatan dan kapabilitas masing-masing yang saya ketahui.

Pertama, Ainun Najib yang Emha, siapa yang tidak kenal dengan Kiai yang tidak suka disebut kiai ini. Tak perlu dipanjang lebarkan. Kemudian ada Ainun Najib yang "bukan Emha", begitu saya baca di bio akun twitternya @ainunnajib. Penggagas KawalPemilu.org. Lembaga swadaya yang keren. Ada lagi Ainun Najib yang Ahmad. Teman kuliah beda jurusan beda angkatan tapi sama organisasi. Saya salut dengan perjuangan dan keikhlasannya.

Tapi tidak jadi pakai nama Ainun Najib, selain saya yakin tidak boleh digunakan oleh istri, tapi juga diuntungkan karena akhirnya bayi yang lahir adalah perempuan.

Nama perempuan yang disiapkan adalah Muslimatul Aisyiyah. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab, mewakili Islam. Tapi merujuk pada dua kekuatan organisasi khusus ibu-ibu Islam di Indonesia yang sangat Indonesia.

Bagi salah satu pasangan Ning dan Gus, begitu mendengar nama "Muslimatul Aisyiyah" sudah paham orientasinya ke mana. Hehehe. Biarlah, Gus. Ning. Panjenengan berdua saja yang paham. Nanti bapaknya ini dibully.

Cukup dua kata, Muslimah dan Aisyiyah. Derivasi menjadi 'Muslimatul Aisyiyah' merupakan peringanan pembacaan saja menyerap pembentukan dan pengucapan lafal Arab. Sebenarnya bisa saja ditulis dan dilafalah Muslimah Al-Aisyiyah.  Tapi kurang familiar dengan lidah Indonesia yang Jawa. Perkara benar tidaknya berdasarkan kaidah Nahwu-Shorofnya, memang sedikit dikesampingkan.

Di masa injury time, akhirnya nama bayi perempuan ini harus terdiri dari tiga kata. Pemberian nama dari Kakeknya. Bapak saya. Mau menolak usulan namanya, saya tidak berani. Istri dan keluarganya pun memahami posisi saya.

Bapak saya baru punya anak ketika usianya sudah 60 tahun lebih. Baru punya cucu ketika usianya sudah 90-an. Cucunya memang sudah banyak, tapi cucu sambung dan dari keponakan. Cucu yang benar-benar segaris keturunan adalah yang lahir pada 28 Mei 2019 ini.

Ketika bapak saya berbaring, karena memang sudah lama sakit. Lebih banyak menghabiskan hari-hari dengan berbaring saja di kamarnya, saya sampaikan kabar bahwa cucunya perempuan. Setelah menanyakan kondisi kesehatan ibu dan bayinya, kemudian Bapak berkata,

"Jenengi Lutfi."
"Lutfi sopo?" saya ingin tahu, ususlan nama panjang dari Bapak.
"Sekarep, wes. Lutfiani, Lutfiati, Lutfiatun, kenek. Pokok Lutfi."

Dengan pengetahuan pembentukan istilah arab yang terbatas, sedikit tidak banyak, saya memahami makna nama tersebut. Tapi tetap saja saya tanyakan kepada Bapak, yang sebelumnya tampak murung tapi sudah mulai sumringah.

"Opo artine, Pak?" saya bertanya tak kalah bahagia.
"Artine, Anake Timbul."

Saya tertawa, Bapak tersenyum. Kelakar yang sejak dulu telah saya ketahui. Ketiak saya tanyakan arti nama saya kepadanya. Dijawab dengan sederhana, "artine anake Yakub.". Yakub nama bapak saya.

Setelah didiskusikan dengan istri, maka bentuk yang dipakai adalah Lutfiana, dirangkai dengan Muslimatul Aisyiyah. Sementara ini, panggilan akrabnya adalah Fiana. Kelak, anak ini bebas menentukan nama panggilannya apa. Untuk mewakili karakternya, tentu saja yang positif. 

Posting Komentar untuk "Cerita tentang Pemberian Nama Lutfiana Muslimatul Aisyiyah"