Berbagi Makan dengan Saudara Kampret
Sabtu, 16 Februari 2019. Saat libur seperti ini waktu lebih banyak saya habiskan di rumah. Istirahat. Tapi kali ini tidak sepenuhnya istirahat. Ada pohon pisang tinggi besar yang harus dipotong. Sudah berbuah, sudah masak. Bahkan terlalu masak. Sudah dimakan oleh codot.
Tentu saja, judul kampret yang saya gunakan di sini bukan kampret yang sebenarnya. Lebih tepatnya adalah codot. Mereka berdua bersaudara. Yang akrab dengan mereka seperti saya, tentu tahu bedanya. Bagi yang sok tahu, apalagi tahunya melalui medsos, pertengkaran kampret dan cebong. Pasti tidak tahu. Biasanya mereka hanya sok tahu. Untuk lebih tahu bedanya Kampret dan Codot, bisa baca: Perbedaan Kampret dan Codot serta Kelelawar Lainnya
Kembali ke pohon pisang, yang sudah terlalu masak, yang sudah dimakan saudaranya kampret ini. Ada di belakang rumah. Tinggi. Melebihi tinggi bangunan eks-TK yang tepat berada di samping pekarangan rumah saya (lebih tepatnya rumah orang tua saya).
Dengan peralatan terbatas, batang bambu yang rapuh, sabit yang tidak terlalu tajam. Beusaha merobohkan tirani, eh pohon pisang dengan hati-hati. Agar tidak merusak bangunan di sampingnya. Agar tidak juga merusak beberapa tanaman lain di sekitarnya.
Tentu saja, sebagai orang yang sudah akrab dengan kampret dan codot, saya bisa melakukannya. Meskipun agak kesulitan. Pohonnya besar, tinggi. Buahnya pun, besar. Saya menyebutnya Gedang Kripik Banyuwangi. Ketika masih di atas pohon, buahnya terlihat sangat bagus. Sedikit kotor memang, ada sarang burung emprit.
Setelah batangnya patah, rubuh. Posisi menggantung, terpaksa minta bantuan Ibu, untuk memotong dari bungkil-nya. Khawatir jatuh ke tanah. Saat itu baru tahu, hampir setengah dari keseluruhan tandan pisang sudah dimakan codot.
Mengetahui itu, ibu meratapi kecerobohannya. Kenapa tidak dipotong sejak seminggu yang lalu. Atau bahkan dua minggu yang lalu pasti sudah tua. Sudah bisa dipotong.
Sambil terus membersihkan sisa pohon pisang yang masih tegak, saya hanya bisa meredam kekecewaannya. Namanya bukan rejeki. Dalam hati, saya justru berpikir. Kampret eh, Codot kan makhluk Tuhan juga. Apa salahnya berbagi makanan dengan mereka. Toh sudah telanjur.
Memang, melihat banyaknya pisang yang dimakan codot, siapapun pasti menyayangkan. Dengan besar seperti itu, jika sesisir pisang ini utuh, bisa dijual dengan harga 25.000 rupiah. Tapi bagaimana lagi. Rejeki kami segitu, selebihnya adalah rejekinya codot-codot yang memakannya.
Mungkin nanti malam mereka, para codot, akan kecewa. Kenapa makanan yang biasa mereka tuju tiap malam sudah tidak ada lagi. Memang sudah pindah. Sudah saya potong. Sudah ada di lantai, tak jauh dari pohonnya. Tapi codo-codot itu tidak akan berani turun sampai ke bawah atap seng. Pasti takut. Toh semesta masih sangat luas. Untuk bisa mencari rejeki di tempat lain.
Seandainya pun mereka mencari ke bawah, ke lantai. Mereka tidak mungkin lagi menemukan buah pisang yang sudah masak. Yang sudah tinggal kulitnya, sudah dibuang. Yang dimakan codot sebagian, diambil. Dibuang yang sudah dikrikiti codot, dipotong. Setengahnya yang masih utuh, dipotong-potong. Dimasukkan ke dalam panci, dengan air, dengan potongan jahe yang dihancurkan, dimasak. Jadi kolak pisang. Saya dan codot, makan dari buah pisang yang sama. Betapa romantisnya.
Memang tidak ada yang perlu disesali. Codotnya dapat makan, saya dapat kolak.
Sampai akhirnya, di siang hari. Ada saudara yang hendak selamatan keluarganya yang meninggal. Ditawarkan, sisa pisang masih bagus. Sepertinya hendak diambil.
Bayangkan, setandan pisang. Bisa dibagi dengan sesama manusia, bahkan dengan sebangsa kelelawar. Semoga juga. Pahalanya nanti --jika dapat pahala-- juga sampai kepada orang yang telah meninggal.
Mencoba selalu berpikir positif saja, dalam setiap peristiwa. Salam.
Ini Pisangnya, yang sudah ada di lantai. Pisang Kripik Banyuwangi |
Ini Pisang, yang sudah disisiri. Lihat bagian yang dibuang. |
Dengan peralatan terbatas, batang bambu yang rapuh, sabit yang tidak terlalu tajam. Beusaha merobohkan tirani, eh pohon pisang dengan hati-hati. Agar tidak merusak bangunan di sampingnya. Agar tidak juga merusak beberapa tanaman lain di sekitarnya.
Tentu saja, sebagai orang yang sudah akrab dengan kampret dan codot, saya bisa melakukannya. Meskipun agak kesulitan. Pohonnya besar, tinggi. Buahnya pun, besar. Saya menyebutnya Gedang Kripik Banyuwangi. Ketika masih di atas pohon, buahnya terlihat sangat bagus. Sedikit kotor memang, ada sarang burung emprit.
Ini Kolak Pisang Kripik Banyuwangi dalam Panci, saat dimasak. |
Mengetahui itu, ibu meratapi kecerobohannya. Kenapa tidak dipotong sejak seminggu yang lalu. Atau bahkan dua minggu yang lalu pasti sudah tua. Sudah bisa dipotong.
Sambil terus membersihkan sisa pohon pisang yang masih tegak, saya hanya bisa meredam kekecewaannya. Namanya bukan rejeki. Dalam hati, saya justru berpikir. Kampret eh, Codot kan makhluk Tuhan juga. Apa salahnya berbagi makanan dengan mereka. Toh sudah telanjur.
Memang, melihat banyaknya pisang yang dimakan codot, siapapun pasti menyayangkan. Dengan besar seperti itu, jika sesisir pisang ini utuh, bisa dijual dengan harga 25.000 rupiah. Tapi bagaimana lagi. Rejeki kami segitu, selebihnya adalah rejekinya codot-codot yang memakannya.
Mungkin nanti malam mereka, para codot, akan kecewa. Kenapa makanan yang biasa mereka tuju tiap malam sudah tidak ada lagi. Memang sudah pindah. Sudah saya potong. Sudah ada di lantai, tak jauh dari pohonnya. Tapi codo-codot itu tidak akan berani turun sampai ke bawah atap seng. Pasti takut. Toh semesta masih sangat luas. Untuk bisa mencari rejeki di tempat lain.
Ini Kolaknya - Kolak Pisang Banyuwangi dalam Mangkok |
Memang tidak ada yang perlu disesali. Codotnya dapat makan, saya dapat kolak.
Sampai akhirnya, di siang hari. Ada saudara yang hendak selamatan keluarganya yang meninggal. Ditawarkan, sisa pisang masih bagus. Sepertinya hendak diambil.
Bayangkan, setandan pisang. Bisa dibagi dengan sesama manusia, bahkan dengan sebangsa kelelawar. Semoga juga. Pahalanya nanti --jika dapat pahala-- juga sampai kepada orang yang telah meninggal.
Mencoba selalu berpikir positif saja, dalam setiap peristiwa. Salam.
Posting Komentar untuk "Berbagi Makan dengan Saudara Kampret"