Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jangan Pilih Partai Besar Ben Gak Yap-Yapan

Nek milih partai, milih sing cilik ae. Ben gak yap-yapan. Kurang lebih begitulah ucapan dari Pak De yang ditiru oleh bapak. Jika dipikir, pemikiran bapak dan saudara-saudaranya memang suka nyeleneh. Dari faktor keturunan mungkin ya. Bapak sudah ikut menggunakan hak pilihnya ketika pemilihan umum pertama kali digelar di Indonesia, pata tahun 1955.


Berkaitan dengan musim pil tahun 2018 ini, dan pemilu tahun depan (di desa juga sudah mulai hangat dengan wacana pilkades), jadi teringat semua konsep dan ide yang didoktrinkan oleh bapak. Ini adalah beberapa pemikirannya tentang hal yang berkaitan dengan 'pesta demokrasi'.

Di masa pemilu pertama, sepertinya dia memilih Masyumi (Masjumi) karena kagum terhadap beberapa tokohnya yang tegas berhadap-hadapan dengan PKI. Tidak simpatik terhadapa Partai NU karena dianggap kolaborator poros Nasakom. Salah satu kutipan favoritnya dari tokoh Masyumi yang melakukan rapat akbar di Jember adalah "Nek ono jangan sak jadi, dicampuri daging babi sak cuil, haram kabeh!" juga istilah sindiran yang dipakai oleh para jurkam untuk menyindir para lawan politik juga sering dikutipnya,

Bal geduwal gedewal. 
Masio gedine sak bantal 
pokok kendek diuntal 
Halal!

Ungkapan di atas adalah bentuk sindiran terhadap lawan politik, karena meskipun sangat besar pokok bisa diuntal (dimakan, dikentit, dicuri) dianggap halal. Padahal seharusnya itu haram.

Pernah juga bercerita, tentang sakit hatinya. Bukan lagi zaman Masyumi atau PKI, tapi sudah beralih ke zaman Orba. Ketika ada pemilu, ada pertai bernama Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) dengan logo yang juga mirip dengan Masyumi, Bulan Bintang. Bapak menjadi salah satu fungsionaris paling rendah, di tingkat desa, tapi hal ini tidak pernah diakui secara terbuka olehnya. Hanya bisa diterka dari beberapa cerita yang keluar.

Pernah bercerita, entah siapa namanya. Pimpinan Parmusi Jember, sudah didukung dengan maksimal (tapi tidak mati-matian, karena menurut bapak, partai tidak harus didukung hidup dan mati) akhirnya bisa menjadi anggota dewan di Jember. Satu-satunya dari Parmusi. Musim kampanye berikutnya, dia malah jadi jurkam partai penguasa dan mencaci maki partai lain, hahaha.

Mungkin karena hal itu, dia tidak mau lagi menjadi 'jurkam'. Pernah juga bercerita sempat didatangi oleh salah seorang calon dalam Pemilihan Kepala Desa Klompangan (dahulu, dusun kami bagian dari desa Klompangan sebelum bercerai menjadi Desa Sukamakmur), dimintai dukungan. Bapak berjanji untuk memilih, tapi kalau kampanye, mengajak istri atau saudara, sama sekali tidak mau. Karena setiap individu memiliki hak demokrasi masing-masing. Pemikiran ini terbukti dalam gelaran pemilu 2009 dan 2014. Partai pilihan dalam keluarga semuanya beda-beda. Bapak pilih ini, ibu pilih itu, anaknya pilih yang lain. Tidak ada yang sama. Lha para caleg suami istri bisa maju dari partai yang bebeda. Mengapa orang yang milih harus seragam hanya karena alasan satu keluarga.

Kembali ke Judul tulisan ini, kalau milih partai jangan partai yang sudah besar. Pilih yang kecil, biar bisa jadi penyeimbang. Begitu maksudnya, kalau sudah terlalu besar nanti bisa yap-yapan alias semena-mena. Terbukti dari beberapa partai yang sempat menjadi penguasa, Golkar di masa Orba yang terlalu kuat sehingga keterlaluan, Demokrat di periode kedua SBY yang juga keterlaluan (mengaca kasus Nazarudin, Anas, Anggelina, Andi dan seterusnya).

Kalau sudah besar, jangan dipilih lagi. Biar gantian. Biar tidak semena-mena. Toh demokrasi dan pemilu sekadar siklus lima tahunan. Selamat menghadapi tahun-tahun politik, nikmati saja. Asal jangan ikut gontok-gontokan.

Posting Komentar untuk "Jangan Pilih Partai Besar Ben Gak Yap-Yapan"