Beberapa Kutipan Kisah, Sebelum Pak Kus Buniman Meninggal Dunia
Pak Kus, begitu biasa kami mengenalnya. Nama dirinya adalah Buniman. Beristri dengan Mbok Kus, entah siapa nama dirinya. Saya lupa. Yang jelas, dua orang ini adalah orang yang romantis. Pekerjaannya adalah ngedok sawah. Petani penggarap. Ke beberapa orang yang memiliki sawah.
Tahlilan Almarhum Pak Kus |
Keduanya adalah sosok yang bersahaja. Sering tampak bersama, suka juga ke sawah dan ke mana-mana berdua. Meskipun sudah tidak lagi muda. Terlihat romantis. Tak jarang, Mbok Kus membelikan mbako genep sak cengkeh papire. Tak sekali dua kali juga Pak Kus membelikan gula, karena persediaan di dapur habis.
Keduanya adalah sosok yang suka bercanda. Dalam beberapa kesaksian warga, Pak Kus adalah sosok yang taat beribadah. Haji Sanusi, salah satu yang menyatakan bahwa Pak Kus adalah orang yang termasuk taat berjamaah di musalanya, Musala yang ada di selatan rumah Pak Kus.
Menjadi cukup terkejut, karena Pak Kus meninggal terhitung sangat mendadak. Siang harinya dikatakan masih ngelempak. Tapi 'tanda-tanda' memang sudah muncul dari beberapa saat sebelumnya. Berdasarkan dari cerita tutur getok tular yang sudah tidak jelas ujung pangkalnya. Beberapa hari sebelum meninggal pada Sabtu, 24 Desember 2022, Pak Kus sempat ngoli menurunkan batu. Di tempat pekerjaan ini, Pak Kus meminta satu batu berbentuk mesagi. Satu saja. "gae tenger". Begitu tuturan orang-orang yang mengisahkan kisah itu. Awalnya hanya minta satu. Kemudian, minta lagi. "ben genep" begitu kata kabar yang beredar.
Orang-orang menganggap tenger dan dan genep sebagai tulodho, ternyata Pak Kus sedang mempersiapkan maesan untuk dirinya. Siapa yang sangka.
Menjadi lebih banyak dibicarakan orang, karena ada insiden sebelumnya. Meninggalnya Pak Kus, memang tidak ada diagnosis dari petugas medis lebih akurat. Tapi berdasarkan kisah yang sempat beredar, Pak Kus diduga kuat mengalami serangan jantung mendadak.
Meskipun pati memang menjadi hak prerogatif Tuhan yang tak mungkin dimajukan dan ditunda barang sesaat. Gedongono kuncenono, wong mati mosok wurungo. Begitu kata pujian yang menunjukkan bahwa kematian adalah sebuah kepastian. Tapi, proses meninggalnya yang menjadi buah bibir oleh warga, tetangga, dan sanak saudaranya.
Tentu tulisan ini bersifat sangat subjektif, dari saya yang sedikit ikut terlibat dalam beberapa saat kejadian sebelum Pak Kus dibawa oleh ambulans desa. Maka, tidak ada kebenaran mutlak dalam tulisan ini. Semua berdasarkan informasi yang saya dapat saja. Sekali lagi sangat subjektif. Tapi karena sedikit tahu, maka saya tuliskan saja berdasarkan batas yang saya ketahui. Dari sudut pandang saya.
Kronologis versi saya:
Pada hari Sabtu malam Minggu, saya baru mengunci pintu pukul sepuluh malam. Baru nggeletak di kamar. Terdengar suara orang memanggil nama saya.
"Cak... Cak Timbul..." Berulang-ulang. Sebelum memanggil yang memanggil mengenalkan diri, saya sudah hafal pemilik suara itu.
Tidak mungkin tidak darurat kalau orang ini memanggil jam segini. Setelah saya buka pintu, tanpa basa-basi Gus Ali sudah menjelaskan kondisi daruratnya. Kurang lebih, mengatakan Pak Kus pingsan. Badannya anyep. Sama sekali tidak sadarkan diri. Perlu penanganan medis. Sekalian minta tolong teleponkan sopir ambulans desa.
Sambil bersiap dan untuk merapat ke Rumah Pak Kus, karena katanya juga ada anak perempuan yang tidak mau pulang, dan bertengkar dengan Pak Kus, saya telepon sopir ambulans desa. Ternyata sudah dalam perjalanan menuju rumah Pak Kus. Sebelumnya sudah ada yang telepon.
Sambil berjalan kaki, dari rumah ke rumah Pak Kus yang kebetulan dalam satu gang dan tak begitu jauh. Gus Ali menceritakan kronologi singkatnya. Ternyata, ada perempuan yang setelah saya usut berinisail P. P tidak mau pulang dari Rumah Pak Kus, ternyata Pak Kus sudah menghubungi keluarga dan kerabat saudari P. Tapi kemudian pingsan. Dibawa ke rumah Imam (saudara Pak Kus, yang rumahnya bersebelahan).
Gus Ali ternyata juga baru dihubungi, dimintai tolong karena Pak Kus semaput dan tidak sadarkan diri. Sambil menunggu ambulans desa datang, beberapa orang sudah berkumpul di jalan depan rumah Pak Kus. Ada dua fokus. Pertama, sibuk menemani Pak Kus, sebagian berusaha memulangkan saudari P. Yang telah bikin ulah.
Beberapa yang orang sudah membujuknya untuk pulang. Kerabat saudari P juga sudah menceritakan kepada beberapa yang datang bahwa P beberapa kali membuat masalah yang tidak membuat malu keluarganya. Bahkan sampai ada kata, "aku wis angkat tangan." kata si kerabat.
Karena tak kunjung mau pulang, dan Adi -cucu Pak Kus- sudah menyerah. "Sangkingo wedok arek iku." dalam nada emosi. Maka, karena tak kunjung ada titik temu. Saya berinisiatif menghampiri P yang ternyata sedang duduk di sumur Pak Kus.
Sumur Pak Kus ini ada di samping selatan rumah, kondisinya agak terbuka, dan gelap. Ternyata di sumur ini P ditemani oleh saudaranya yang mengaku berinisial B kepada saya. Menurut saya, P dalam kondisi sadar. Karena meskipun dalam kondisi yang cukup gelap --ukurannya gelap tidak jelas wajahnya tapi cukup jelas bahwa di situ ada orang-- P langsung berbicara yang tidak sopan.
Kurang lebih begini ucapan saudarai P, "sopo koen, kate nggepuk aku ta? Jancuk iki!!!". Tentu saja saya emosi, kalau saja tidak mampu menahan emosi. Mungkin sudah saya pukuli. Tapi untungnya tidak sampai. Saya memang berniat baik untuk menyuruh P pulang, meskipun harus dengan cara yang tidak baik.
Setelah mengoceh tidak karuan, saya pegang tangannya saya seret untuk mau keluar. Yang bersangkutan melawan. Meronta dan berusaha tidur di tanah. Tapi tetap saya pegang dengan kuat lengannya --entah yang kiri atau yang kanan-- menggunakan tangan kanan saya. Dari sumur dan sampai ke depan rumah Pak Kus. Tanpa saya lihat bagaimana kondisinya.
Sesampai di depan rumah, di tempat yang cukup terang, saya melihat baju dan celananya kotor. Hal ini sekaligus mengonfirmasi kabar burung yang beredar bahwa, saudari P telanjang di rumah Pak Kus. Pada saat kejadian sekitar pukul 22.30 malam itu, yang bersangkutan dalam kondisi memakai celana jenas, dan baju kaos (mungkin hoody) berwarna pink (mungkin). Jadi, tidak benar kabar yang mengatakan yang bersangkutan telanjang atau (maaf) hanya memakai BH saja.
Setelah sampai di halaman rumah Pak Kus, saya dibantu beberapa orang --termasuk saudara B yang mengaku kakaknya-- menggotong yang bersangkutan. Yang tetap memegang lengannya, sementara yang lain memegang kakinya. Karena meronta sangat kuat. Genggaman tangan saya terlepas. Kemudian saudra B membopong P naik motor sport laki berwarna putih. Entah siapa yang mengendarai. Jadi, P dievakuasi oleh B.
Sebelum memulangkan paksa yang bersangkutan, saya sudah konfirmasi kepada beberapa pihak bahwa P memang kerap kali membuat masalah. Sudah tidak bisa diberitahu dengan baik-baik. Maka, harus diberitahu yang baik meskipun dengan cara yang kurang baik.
Setelah P dibawa pulang, fokus semua yang ada tertuju pada Pak Kus, tak lama kemudian Ambulans Desa datang. Pak Kus dimasukkan ke ambulans. Berdasarkan informasi dari yang membopong, Pak Kus masih hidup saat dimasukkan ke dalam ambulans. Semua sudah dirasa cukup tenang. Warga dan para tetangga akhirnya membubarkan diri karena hari sudah malam.
Setelah sampai di rumah, sopir ambulans desa, menelepon. Mengabarkan bahwa Pak Kus sudah meninggal dunia. Dan menunggu mobil jenazah, untuk memulangkan jenazah Pak Kus dari Puskesmas Ajung di Klompangan.
Mendapat kabar duka tersebut, beberapa warga, kerabat, dan tetangga kembali mendatangi rumah Pak Kus. Saat itulah, baru bisa dikorek kabar lebih lengkap mengenai insiden yang terjadi.
Berdasarkan kronologis yang dikabarkan oleh beberapa warga dan tetangga yang mengetahui, begini kronologisnya:
Sebelumnya saudarai P bersama dengan beberapa temannya --termasuk Adi, cucu Pak Kus-- memang terlihat di rumah itu sejak sore. Mereka bisasanya memang berkumpul di situ. Warga memang cukup terganggu karena terkadang di tengah malam nyetel musik sangat nyaring.
Pada hari kejadian, saudari P diusir pulang oleh Pak Kus. Sekitar pukul 21.00 malam. Tapi saudari P justru melawan dan menantang Pak Kus. Bahkan digambarkan oleh salah seorang tetangg yang melihat, P mendorong badan Pak Kus dengan kedua tangannya.
Ada kabar juga, P sempat menantang Pak Kus untuk memanggil orang tua dan mbahnya, P menyatakan tidak takut. Pak Kus kemudian berangkat ke dusun sebelah. Memanggil kerabatnya, Pak M. mengendarai motor, seorang diri. Saat di rumah kerebatnya inilah Pak Kus mengeluhkan sakit di dadanya.
Kemudian istri Pak M memberikan kabar kepada Pak Imam yang kemudian menjemput Pak Kus dari rumah Pak M. Saat dijemput itu, kondisi Pak Kus sudah sangat lemah, "wis gak iso dilungguhne" berdasarkan penuturan tetangga yang turut serta menjemput Pak Kus.
Setelah dijemput, Pak Kus dibaringkan di rumah Pak Imam. Baru Pak Imam dan tetangganya memanggil Gus Ali untuk minta bantuan. Berlanjut Gus Ali membangunkan saya, seperti pada kronologis versi saya di atas.
Pertanyaan yang belum terjawab di sekitar kejadian itu dan masih menjadi desas-desus adalah: Kenapa P bisa sampai di situ dan tidak mau pulang? Apa yang diminta oleh P di situ?
Dari kejadian ini, sebagai pengingat bahwa, kematian bisa datang kapan saja. Sambil jagong di tengah malam ketika menunggu hujan reda, Gus Ali menyampaikan, ngeten niki, nopo kita siap ninggal sewaktu-waktu? Pertanyaan yang dalam hati saya jawab dengan mantap: Tentu saya belum siap, masih banyak salah.
Kejadian sebelumnya memang hanya sebuah proses, mung jalaran atau lantaran. Tapi sangat tidak ada salahnya ketika kita semua menjaga kondusifitas lingkungan, dan menjaga keluarga masing-masing. Semoga kita semua beserta seluruh keluarga selalu ada dalam lindunganNya.
Posting Komentar untuk "Beberapa Kutipan Kisah, Sebelum Pak Kus Buniman Meninggal Dunia"